MPR RI Belum Agendakan Pembahasan Usulan Pemakzulan Wakil Presiden Gibran
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) hingga saat ini belum menjadwalkan pembahasan terkait surat usulan pemakzulan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka yang diajukan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW), menyampaikan bahwa pimpinan MPR masih menunggu arahan dan undangan resmi dari Ketua MPR, Ahmad Muzani, untuk membahas surat tersebut.
"Kami dari pimpinan menunggu kapan surat ini akan dibahas. Sampai hari ini, kami belum menerima undangan untuk membahasnya. Jadi, kita tunggu saja undangan dari Ketua MPR," ujar HNW di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis (5/6/2025).
HNW menambahkan bahwa pimpinan MPR juga akan menunggu arahan terkait rencana klarifikasi kepada Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Menurutnya, keputusan mengenai klarifikasi sepenuhnya berada di tangan Ketua MPR.
Lebih lanjut, HNW menjelaskan bahwa MPR baru dapat membahas usulan pemakzulan setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) menggelar sidang terkait usulan tersebut. Proses pembahasan usulan pemakzulan dinilai masih panjang sebelum dapat dibahas di MPR RI.
"Karena apa pun keputusannya, prosesnya dimulai dari DPR, kemudian ke Mahkamah Konstitusi (MK), lalu kembali ke DPR, dan baru ke MPR. Jadi, prosesnya masih panjang," jelasnya.
Sebelumnya, HNW mengungkapkan bahwa surat usulan pemakzulan Gibran telah diterima oleh Ketua MPR RI, Ahmad Muzani. Namun, ia tidak mengetahui apakah Muzani sudah membaca surat tersebut, mengingat DPR/MPR RI saat ini sedang dalam masa reses.
Forum Purnawirawan Prajurit TNI sebelumnya mengirimkan surat kepada DPR dan MPR RI untuk segera memproses tuntutan pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka. Surat tertanggal 26 Mei 2025 itu telah tersebar di kalangan wartawan.
Berikut bunyi surat tersebut:
"Dengan ini, kami mengusulkan kepada MPR RI dan DPR RI untuk segera memproses pemakzulan (impeachment) terhadap Wakil Presiden berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku."
Surat tersebut ditandatangani oleh empat purnawirawan TNI, yaitu Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.
Sekretaris Forum Purnawirawan Prajurit TNI, Bimo Satrio, mengonfirmasi kebenaran surat tersebut. Menurutnya, surat itu telah dikirimkan ke Sekretariat Jenderal (Sekjen) MPR dan DPR RI pada Senin, 2 Juni 2025. Bimo menegaskan bahwa surat tersebut meminta MPR dan DPR segera menindaklanjuti usulan pemakzulan Gibran dari posisi Wapres. Forum Purnawirawan Prajurit TNI juga menyatakan kesiapannya untuk mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR RI guna membahas usulan tersebut.
Dasar hukum mengenai pemberhentian atau pemakzulan Presiden dan Wapres diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Pasal 7A UUD 1945 hasil amandemen ketiga mengatur bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta jika tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Usulan pemberhentian dalam masa jabatan harus berasal dari DPR ke MPR RI.
Pasal 7B UUD 1945 mengatur alur proses pemakzulan yang harus melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terlebih dahulu. Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Sebelum diajukan ke MK, usulan harus disetujui oleh mayoritas fraksi atau 2/3 anggota DPR. Setelah ada putusan MK, DPR dapat mengusulkan ke MPR untuk mengadakan sidang MPR dengan syarat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota dan disetujui minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Dalam sidang MPR tersebut, akan diputuskan apakah yang bersangkutan bersalah dan dimakzulkan. Ketentuan pemakzulan melalui MPR termaktub dalam Pasal 3 UUD 1945.