Kontroversi Toleransi di Kutaraja: Antara Pengalaman Wisatawan dan Realita Warga Lokal

Banda Aceh, kota yang dikenal dengan julukan Serambi Mekkah, baru-baru ini menjadi sorotan terkait isu toleransi. Kota ini, bersama dengan Sabang dan Lhokseumawe, menduduki peringkat bawah dalam Indeks Kota Toleran (IKT) yang dirilis oleh SETARA Institute, memicu perdebatan tentang wajah toleransi yang sebenarnya di kota tersebut.

Penilaian IKT ini mengundang beragam reaksi, terutama dari mereka yang memiliki pengalaman langsung di Banda Aceh. Beberapa wisatawan asing justru merasa nyaman dan aman selama berada di sana, sementara warga lokal memiliki pandangan yang berbeda, menggambarkan realitas yang lebih kompleks.

Jessica Juanda, seorang wisatawan yang memiliki keturunan Tionghoa, merasa heran dengan label intoleran yang diberikan kepada Banda Aceh. Ia mengaku selama berlibur, ia dan keluarganya diperlakukan dengan baik dan tidak mengalami perlakuan rasis. Pengalaman serupa juga diungkapkan oleh Na Jeong Kim, seorang mahasiswi asal Korea, yang merasa diterima oleh masyarakat setempat dan tidak merasakan adanya diskriminasi.

Namun, pengalaman berbeda diutarakan oleh Stephanie Tiara Christina, seorang warga Banda Aceh. Ia mengungkapkan bahwa tingkat toleransi di kota tersebut masih minim. Ia mengaku seringkali mendapat tekanan untuk mengenakan jilbab dan merasa diperhatikan secara sinis. Selain itu, ia juga menyoroti kebijakan terkait pendirian rumah ibadah non-muslim yang dianggap diskriminatif, serta keharusan bagi non-muslim untuk ikut berpuasa di bulan Ramadhan.

Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, menanggapi isu ini dengan menyatakan bahwa kehidupan masyarakat di Banda Aceh berjalan harmonis. Ia menekankan bahwa warga dari berbagai latar belakang suku dan agama hidup berdampingan dengan damai. Illiza juga mengajak semua pihak untuk melihat Banda Aceh secara objektif dan berkunjung langsung untuk membuktikan sendiri kehidupan masyarakatnya yang harmonis.

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, memberikan penjelasan terkait rendahnya skor IKT Banda Aceh. Menurutnya, hal ini bukan hanya disebabkan oleh intoleransi, tetapi juga kurangnya fokus dan inovasi dalam upaya memajukan toleransi. Ia menambahkan bahwa kota-kota lain telah berupaya melakukan berbagai inovasi dan terobosan dalam hal ini.

Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa isu toleransi di Banda Aceh merupakan persoalan yang kompleks dan multidimensional. Pengalaman dan perspektif yang berbeda dari wisatawan dan warga lokal mencerminkan realitas yang dinamis dan membutuhkan pemahaman yang mendalam.

  • Pengalaman Wisatawan: Beberapa wisatawan merasa nyaman dan aman selama berada di Banda Aceh.
  • Pandangan Warga Lokal: Beberapa warga lokal merasakan adanya minimnya toleransi dan diskriminasi.
  • Tanggapan Pemerintah: Wali Kota Banda Aceh mengklaim kehidupan masyarakat harmonis.
  • Penjelasan SETARA Institute: Rendahnya skor IKT disebabkan oleh kurangnya inovasi dalam memajukan toleransi.

Kontroversi ini menyoroti pentingnya dialog dan pemahaman yang lebih baik tentang toleransi di Banda Aceh. Upaya untuk memajukan toleransi harus melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan warga lokal, serta mempertimbangkan berbagai perspektif dan pengalaman yang berbeda.