Keteguhan Hati Pasangan Lansia di Kulon Progo: Menyisihkan Rezeki dari Hasil Bumi untuk Kurban

Di tengah kesederhanaan hidup di sebuah dusun di Kulon Progo, Yogyakarta, terpancar keteguhan hati dari pasangan lansia, Tris Senu dan Parjiyem. Usia senja tak menghalangi mereka untuk terus berkarya dan berbagi, bahkan menyisihkan sebagian rezeki dari hasil bumi untuk berkurban.

Pasangan yang tinggal di Padukuhan Timpang, Kalurahan Pengasih ini, menggantungkan hidup dari hasil pekarangan rumah mereka. Mbah Tris, sapaan akrab warga sekitar, bersama istrinya, memanfaatkan pohon kelapa dan kayu yang tumbuh di sekitar rumah sebagai sumber penghasilan. Keterbatasan fisik dan usia tak memadamkan semangat mereka untuk berkurban, sebuah tradisi yang sangat diidamkan.

Mbah Tris, dengan pendengaran yang sudah sangat menurun, menjalani hari-harinya dengan aktivitas sederhana seperti berwudhu, salat berjamaah, dan berjalan-jalan di sekitar rumah. Penghasilan utama mereka berasal dari penjualan buah kelapa. Jika ada pedagang yang berminat, mereka bisa mendapatkan antara Rp 200.000 hingga Rp 300.000 setiap dua bulan. Namun, di musim kemarau, penghasilan ini bisa merosot hingga hanya sekitar Rp 150.000. Selain kelapa, mereka juga menjual pohon kayu seperti sengon dan jati, yang bisa menghasilkan Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000 dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun.

Uang hasil penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti membeli bumbu dapur, tahu, tempe, atau lauk kesukaan mereka. Untuk sayuran, mereka memanfaatkan hasil kebun sendiri. Meski dengan penghasilan yang terbatas, Mbah Tris dengan tekun menyisihkan uang sedikit demi sedikit. Ia bahkan rela menyetor iuran sebesar Rp 3,6 juta untuk bisa ikut berkurban sapi bersama warga lainnya.

"Iya, melu (ikut) kurban," ucapnya singkat, mencerminkan tekad yang kuat. Penyembelihan hewan kurban dilakukan di Masjid Al Huda Gebangan, tempat Mbah Tris rutin melaksanakan salat berjamaah. Jika tabungannya belum mencukupi, anak-anaknya turut membantu. Berkat dukungan keluarga dan keteguhan hati, Mbah Tris dan Parjiyem telah empat kali ikut berkurban.

"Sudah empat kali ikut kurban. Lembu," kata Parjiyem dengan nada bangga.

Bagi pasangan lansia ini, berkurban bukan sekadar soal kemampuan finansial, tetapi lebih kepada niat tulus dan semangat berbagi. Parjiyem meyakini bahwa ikut berkurban tidak akan membuat hidup mereka kekurangan. Ia menganggapnya sebagai investasi amal untuk kehidupan di akhirat kelak.

"Sebagai tabungan di akhirat nanti. Kalau ada rezeki (untuk) berkurban," tutur Parjiyem dengan penuh keyakinan.

Di masa mudanya, Mbah Tris adalah seorang tukang batu yang memanfaatkan batu dari pekarangan sendiri untuk dijual. Kerja kerasnya telah membuahkan hasil, keempat anaknya kini telah mandiri. Bahkan, salah satu dari sembilan cucunya sudah menikah. Semangat berkurban yang dimiliki Mbah Tris tumbuh dari pengajian-pengajian yang sering ia ikuti. Ia ingin mengisi sisa hidupnya dengan ibadah dan amalan-amalan kebaikan.

Kisah Mbah Tris dan Parjiyem adalah cermin keteguhan hati dan semangat berbagi yang patut diteladani. Di tengah keterbatasan ekonomi, mereka tetap mampu menyisihkan sebagian rezeki untuk berkurban, membuktikan bahwa niat baik dan ketulusan hati adalah modal utama dalam beribadah.

Semangat berkurban ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu berbagi dengan sesama, tanpa memandang status sosial atau kondisi ekonomi. Semoga kisah Mbah Tris dan Parjiyem dapat mengetuk hati kita untuk lebih peduli dan berbagi kepada mereka yang membutuhkan.