Konflik Tambang Nikel di Raja Ampat: Antara Investasi dan Hak Masyarakat Adat

Pada sebuah forum internasional di Jakarta, aksi protes damai oleh aktivis lingkungan dan pemuda Papua menyoroti isu krusial: ancaman tambang nikel terhadap Raja Ampat. Penangkapan para aktivis tersebut memicu perdebatan tentang kebebasan berpendapat dan keadilan substantif.

Raja Ampat, yang diakui secara global sebagai kawasan konservasi dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, kini menghadapi ancaman serius dari ekspansi pertambangan. Lebih dari 500 hektare hutan telah dibabat, dan pulau-pulau kecil dieksploitasi, melanggar undang-undang yang melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. Situasi ini mengancam hak masyarakat adat atas lingkungan yang sehat dan wilayah ulayat mereka.

Hilirisasi Nikel: Kemajuan atau Perampasan?

Narasi hilirisasi nikel sering kali digunakan untuk membenarkan perampasan ruang hidup masyarakat lokal dan mengabaikan suara-suara yang terpinggirkan. Hukum, yang seharusnya melindungi kelompok yang lemah, tampaknya membiarkan yang kuat mendominasi. Keadilan ekologis menuntut pengakuan atas suara komunitas lokal dan hak mereka untuk menentukan masa depan lingkungan mereka.

Papua Bukan Sekadar Objek Kebijakan

Seruan "Papua bukan tanah kosong" adalah koreksi terhadap pandangan lama yang menempatkan Papua sebagai ruang terbuka untuk eksploitasi. Raja Ampat adalah ruang hidup, identitas, dan masa depan yang tak ternilai harganya.

Evaluasi menyeluruh terhadap izin tambang nikel di Raja Ampat adalah keharusan. Kebijakan hilirisasi harus dikaji ulang dengan mengutamakan hak atas lingkungan, hak masyarakat adat, dan prinsip keberlanjutan. Menyelamatkan Raja Ampat bukan hanya masalah ekologi, tetapi juga keberpihakan pada kemanusiaan.

Pembangunan Eksploitatif dan Ketergantungan

Penolakan terhadap tambang nikel di Raja Ampat terkait dengan masalah struktural dalam pembangunan Indonesia yang cenderung eksploitatif. Papua seolah diposisikan hanya sebagai penyedia bahan mentah, sementara nilai tambah ekonomi dan pengambilan keputusan terpusat di pusat kekuasaan dan kapital.

Hukum Sebagai Alat Kekuasaan

Hukum tidak selalu menjamin kebenaran atau keadilan, tetapi sering kali menjadi medium untuk menormalisasi praktik dominasi. Penangkapan aktivis, ekspansi tambang di kawasan konservasi, dan pengabaian partisipasi masyarakat lokal adalah manifestasi dari hukum yang bekerja demi akumulasi, bukan emansipasi.

Transisi Energi yang Tidak Adil

Praktik hilirisasi nikel di Indonesia menciptakan ketidakadilan ekologis yang melanggengkan environmental racism terhadap wilayah timur seperti Papua. Konflik ini membuka luka lama relasi kuasa antara negara dan masyarakat Papua.

Keadilan yang Tercederai

Masyarakat Papua tidak diberikan ruang setara untuk menentukan nasib atas tanah, hutan, dan laut yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan spiritualitas mereka. Raja Ampat adalah representasi dari benteng terakhir keanekaragaman hayati, ketahanan budaya lokal, dan integritas ekologis.

Seruan untuk Bertindak

Pemerintah masih memiliki peluang untuk bertindak secara konstitusional dan etis. Mencabut izin-izin tambang di kawasan yang dilindungi, melibatkan masyarakat adat dalam setiap proses pengambilan keputusan, serta mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam kebijakan lingkungan adalah langkah minimal yang harus diambil.

Papua bukan tanah kosong. Papua bukan ruang vakum yang bisa diisi sesuai kepentingan pasar, melainkan tanah yang berpenghuni, berakar budaya, dan penuh suara yang selama ini kerap dibungkam. Kini, suara-suara itu tengah berseru: Selamatkan Raja Ampat—sebelum "surga" itu berubah menjadi ladang luka.