Polemik Pemakzulan Gibran: Antara Aspirasi Purnawirawan, Dinamika Politik DPR, dan Mandat Rakyat
Gelombang Usulan Pemakzulan Gibran Menuju Gedung Parlemen
Surat desakan dari kelompok purnawirawan TNI yang meminta pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah sampai di meja DPR dan MPR, setelah sebelumnya ditujukan kepada Istana Negara. Meskipun Istana berpendapat bahwa hal ini berada di luar ranah eksekutif, isu ini kini menjadi sorotan utama di lembaga legislatif.
Proses pemakzulan, sebagaimana diatur dalam konstitusi, bukanlah jalan pintas. DPR dan MPR harus membuktikan secara meyakinkan bahwa Gibran telah melakukan pelanggaran berat seperti pengkhianatan negara, korupsi, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya. Bahkan jika DPR berhasil mengidentifikasi pelanggaran tersebut secara politis, keputusan akhir tetap harus melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Proses ini jelas kompleks dan membutuhkan pembuktian yang kuat.
Realitas Politik di DPR: Dukungan Mayoritas dan Potensi Perubahan Arah
Secara matematis, Gibran, sebagai bagian dari pasangan Prabowo Subianto yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM), memiliki dukungan signifikan di DPR. KIM, yang terdiri dari lima partai, menguasai 280 kursi. Pasca-Pilpres 2024, KIM bahkan mendapatkan tambahan kekuatan dari PKB, Nasdem, dan PKS, sehingga total dukungan menjadi 470 kursi. Dengan mayoritas ini, secara logika, upaya pemakzulan akan menemui jalan terjal.
Namun, politik adalah arena yang dinamis. Meskipun KIM kini menjelma menjadi KIM Plus dengan dukungan 470 suara, bukan berarti usulan pemakzulan otomatis kandas. PDI Perjuangan, dengan 110 kursi, menjadi satu-satunya partai yang mungkin mendukung usulan tersebut, meskipun narasi dari internal partai menunjukkan kehati-hatian dan penekanan pada ketaatan konstitusi.
Strategi Politik dan Opini Publik: Faktor Penentu di Balik Layar
Dalam politik, narasi publik seringkali menjadi alat strategis untuk menyesuaikan diri dengan opini yang berkembang. Meskipun partai-partai di DPR saat ini cenderung bersikap normatif dan meragukan dasar pemakzulan, bukan berarti sikap ini akan bertahan selamanya. Arah angin opini publik dan kepentingan politik internal dapat mengubah segalanya. Persyaratan pemakzulan, yang diatur dalam Pasal 7a konstitusi, dapat ditafsirkan secara berbeda tergantung pada kekuatan argumentasi politik dan tekanan eksternal.
Opini publik, seperti yang diungkapkan Michael J. Gerhardt dalam bukunya "Impeachment: What Everyone Needs to Know," memainkan peran penting dalam proses pemakzulan. Persepsi masyarakat dapat memengaruhi tindakan atau tidak bertindaknya anggota legislatif.
Argumentasi dan Basis Faktual: Menimbang Alasan Pemakzulan
Dorongan pemakzulan yang ada saat ini didasarkan pada beberapa argumentasi, termasuk kasus "fufufafa", dugaan korupsi Gibran-Kaesang, putusan MK terkait batas usia, dan anggapan kurangnya kapasitas Gibran. Namun, argumentasi ini dinilai tidak memiliki basis faktual yang kuat.
Belum ada putusan hukum yang mengaitkan Gibran dengan akun "Fufufafa" atau membuktikan adanya korupsi. Putusan MK tentang batas usia, meskipun kontroversial, telah menjadi hukum. Isu-isu ini sebenarnya relevan pada fase kandidasi dan pemilihan, bukan setelah Gibran resmi menjabat sebagai wakil presiden.
Upaya memakzulkan pemimpin yang dipilih secara demokratis hanya karena "dugaan" dan "persepsi" dianggap sebagai preseden buruk. Terlebih lagi, pemakzulan Gibran tanpa melibatkan Prabowo, sebagai satu kesatuan dwi-tunggal, dianggap tidak masuk akal. Beberapa pihak yang gencar menyuarakan pemakzulan juga diketahui sebagai mantan pendukung kandidat lain pada Pilpres 2024.
Mandat Rakyat: Menghormati Hak Suara Puluhan Juta Pemilih
Pasangan Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres dengan dukungan 96.214.691 suara, atau sekitar 58,59 persen dari total pemilih sah. Angka ini menunjukkan mandat yang jelas dari rakyat Indonesia untuk memimpin bangsa ini hingga 2029.
Data dari Litbang Kompas menunjukkan bahwa sebagian besar suara yang memilih Prabowo-Gibran berasal dari pemilih Jokowi pada Pilpres 2019. Dapat disimpulkan bahwa kontribusi Jokowi, ayah dari Gibran, sangat signifikan dalam kemenangan tersebut. Apakah suara dari segelintir pihak yang mengusulkan pemakzulan dapat menggembosi suara puluhan juta pemilih yang mendukung Gibran?
Kesetaraan Hak Suara dalam Demokrasi
Meskipun kita menghargai dedikasi para purnawirawan TNI, kita juga harus menghormati hak suara puluhan juta rakyat Indonesia yang telah memilih Gibran. Kita tidak bisa mengorbankan mekanisme demokrasi yang telah disepakati bersama hanya untuk memenuhi aspirasi segelintir orang.
Setiap warga negara, terlepas dari latar belakangnya, memiliki hak suara yang sama dalam demokrasi elektoral. Suara seorang petani sama berharganya dengan suara seorang purnawirawan TNI. Inilah esensi demokrasi yang harus kita junjung tinggi.