Krisis Ekonomi Hantui Pertokoan Kranji: Pedagang Berjuang Bertahan di Tengah Sepinya Pembeli
Pertokoan Kranji, yang dulunya ramai dan menjadi pusat perbelanjaan favorit di Bekasi, kini menghadapi masa-masa sulit. Para pedagang merasakan dampak signifikan dari penurunan drastis jumlah pengunjung, memaksa mereka untuk mengambil langkah-langkah ekstrem demi bertahan hidup.
Gelombang Sepi yang Menghantam Kranji
Sejumlah pedagang di kawasan tersebut mengungkapkan bahwa suasana pertokoan kini jauh berbeda dibandingkan dengan masa kejayaannya. Sepinya pembeli menjadi pemandangan sehari-hari, bahkan beberapa pedagang sudah mempertimbangkan untuk menutup usahanya.
Edi, seorang pedagang pakaian, mengenang masa lalu ketika tokonya selalu dipenuhi pembeli. Namun, sejak maraknya e-commerce dan toko online, jumlah pengunjung terus menurun. Pandemi Covid-19 semakin memperburuk situasi, dan ironisnya, setelah pandemi berakhir, kondisi pertokoan justru semakin terpuruk.
"Dulu sebelum Covid sudah ada toko online, pas masuk Covid, parah banget. Tapi itu masih mendingan. Covid tuh mendingan daripada sekarang. Wah kalau sekarang malah parah, nggak ada pengunjung," ujar Edi.
Strategi Bertahan di Tengah Krisis
Menghadapi situasi sulit ini, Edi terpaksa menutup salah satu tokonya dan mengurangi jumlah karyawan. Dari empat karyawan, kini ia hanya mampu mempekerjakan satu orang saja. Pendapatan yang minim memaksa Edi untuk menggunakan tabungan pribadi demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Ini sudah tutup satu, di depan. Nggak ada penglaris. Gimana mau gaji karyawan atau apa kan. Sekarang masih ada satu, setiap ada penglaris kita bagi. Tapi ya habisnya paling cuma laku satu, laku dua," jelasnya.
Edi bahkan berencana untuk menutup toko yang tersisa jika situasi tidak membaik. Ia mengaku sudah kehabisan modal dan tidak tahu lagi usaha apa yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup.
Senada dengan Pedagang Lain
Kondisi serupa juga dialami oleh Julia, seorang pedagang perabot rumah tangga. Ia mengungkapkan bahwa omzetnya turun drastis, bahkan dalam sehari belum tentu ada pelanggan yang datang. Untuk mengurangi beban operasional, Julia terpaksa mengurangi jumlah karyawan dari tujuh menjadi tiga orang.
"Omzet turun jauh, bisa 80%. Jadi sehari bisa nggak ada pelanggan sama sekali, sepi, ini bisa dilihat kan. Pas pandemi masih mending. Masih lebih mending pandemi. Setelah pandemi makin ke sini malah makin sepi. Paling yang datang cuma langganan saja, itu pun jarang kan," terangnya.
Beruntung, Julia juga memanfaatkan penjualan secara online. Meskipun tidak memberikan keuntungan besar, setidaknya penjualan online membantu memutar modal dan menutupi sebagian biaya operasional.
"Online ada sedikit-sedikit. Buat putaran modal doang, nutup sih nggak. Kalau sekarang sih (penjualan) lebih banyak online ya. Lebih dari setengah, sekitar 80% juga lah itu dari online," ucapnya.
Namun, jika kondisi terus memburuk, Julia juga tidak punya pilihan lain selain menutup usahanya.
Masa Depan Pertokoan Kranji
Kisah para pedagang di Pertokoan Kranji ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh pusat-pusat perbelanjaan tradisional di era digital. Persaingan dengan toko online, ditambah dengan dampak pandemi, telah memukul keras bisnis mereka. Masa depan Pertokoan Kranji masih belum pasti, dan para pedagang hanya bisa berharap adanya perubahan positif agar mereka dapat terus bertahan hidup.