Enam Landasan Konstitusional Pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden Menurut Mantan Ketua MK

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, mengungkapkan enam alasan konstitusional yang dapat menjadi dasar bagi proses pemakzulan terhadap seorang presiden atau wakil presiden. Pernyataan ini muncul di tengah diskusi publik mengenai isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang baru-baru ini disuarakan oleh sejumlah purnawirawan TNI.

Menurut Jimly, aspirasi tersebut harus dipahami sebagai bentuk kekecewaan, namun penegakan hukum harus tetap menjadi prioritas. Ia menyatakan bahwa terdapat sejumlah alasan kuat yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memakzulkan seorang pemimpin negara.

Dalam konteks sistem ketatanegaraan Indonesia, Jimly menjelaskan enam alasan utama yang dapat memicu pemberhentian presiden atau wakil presiden:

  • Pengkhianatan terhadap Negara: Tindakan yang secara langsung merugikan kepentingan nasional dan melanggar sumpah jabatan.
  • Korupsi: Terlibat dalam praktik korupsi yang merugikan keuangan negara dan kepercayaan publik.
  • Suap: Menerima suap atau gratifikasi yang mempengaruhi kebijakan dan keputusan negara.
  • Tindak Pidana Berat: Melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
  • Perbuatan Tercela: Melakukan tindakan yang melanggar norma etika dan moralitas yang berlaku di masyarakat, serta mencoreng citra pejabat negara.
  • Tidak Memenuhi Syarat: Alasan administratif seperti meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai pejabat negara.

Jimly menekankan bahwa proses pemakzulan tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Mekanisme pemakzulan telah diatur secara rinci dalam konstitusi dan harus dimulai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR harus mendapatkan dukungan minimal dua pertiga dari seluruh anggotanya untuk mengajukan tuntutan pemakzulan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah MK membuktikan adanya pelanggaran, barulah proses tersebut dapat dibawa ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Lebih lanjut, Jimly mengungkapkan keraguannya terhadap keberhasilan upaya pemakzulan terhadap Gibran, mengingat konfigurasi politik di DPR saat ini didominasi oleh partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang merupakan pendukung utama pemerintah. Menurutnya, dengan mayoritas yang dimiliki KIM di DPR, sangat sulit untuk mencapai kuorum yang diperlukan untuk memulai proses pemakzulan.

Jimly menyarankan agar masyarakat lebih fokus pada penataan masa depan daripada terus-menerus mempersoalkan masa lalu. Ia mengajak publik untuk berpikir ke depan dan mengurangi ekspresi kemarahan terhadap kejadian di masa lalu, karena hal itu hanya akan membuang-buang waktu dan tidak memberikan solusi yang konstruktif.