Stadion Utama Gelora Bung Karno: Ikon Arsitektur Temu Gelang yang Mendunia
Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), saksi bisu berbagai peristiwa penting dalam sejarah olahraga Indonesia, bukan hanya sekadar arena pertandingan. Arsitekturnya yang unik, khususnya atap temu gelang, telah mengundang decak kagum dari berbagai penjuru dunia. Stadion kebanggaan Indonesia ini juga menjadi tempat bersejarah bagi Timnas Indonesia. Baru-baru ini, Timnas Garuda berhasil mengamankan kemenangan penting atas China dengan skor 1-0 dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026, semakin mengukuhkan GBK sebagai rumah bagi sepak bola Indonesia.
Sejarah pembangunan SUGBK bermula dari penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games IV tahun 1962. Presiden Soekarno, dengan visi yang jauh ke depan, mencetuskan ide untuk membangun kompleks olahraga bertaraf internasional di atas lahan seluas 279,1 hektare yang kemudian dikenal sebagai Gelora Bung Karno. Pembangunan stadion dimulai pada tahun 1960, dengan melibatkan tim arsitek dari Uni Soviet yang dipilih langsung oleh Soekarno karena kekagumannya pada kemegahan Stadion Pusat Lenin di Moskow. Soekarno menunjuk Friedrich Silaban untuk mengawasi desain dan konstruksi stadion.
Keinginan kuat Soekarno adalah menghadirkan stadion dengan atap yang dapat melindungi seluruh penonton dari panas dan hujan, sebuah konsep yang pada masa itu dianggap sulit diwujudkan. Ia menghendaki atap temu gelang, sebuah desain melingkar yang menyambung mengikuti lintasan olahraga. Desain ini dinilai unik dan modern, namun tim arsitek Uni Soviet sempat menyatakan keraguan mereka. Soekarno bersikeras dan memerintahkan agar atap temu gelang tetap dibangun, sebuah keputusan visioner yang kemudian menjadi ciri khas SUGBK.
Konstruksi atap dimulai pada tahun 1961, menggunakan kerangka baja seberat 5.000 ton yang didatangkan langsung dari Uni Soviet. Atap ini terdiri dari 96 kapstan dengan panjang masing-masing 66 meter, yang kemudian disambung menjadi satu membentuk oval. Seluruh proses penyambungan dilakukan dengan teknik las tanpa baut. Material atap menggunakan besi baja Martin nomor 3 yang juga berasal dari Uni Soviet.
Setelah diresmikan pada Juli 1962, SUGBK langsung mencuri perhatian dunia. Media internasional seperti The Asia Magazine memberikan pujian atas arsitektur stadion yang dianggap sebagai prestasi luar biasa. Para anggota Executive Committee Asian Games Federation pun takjub dan menyebut SUGBK sebagai stadion terbesar dan terindah di Asia.
Keunikan atap temu gelang menjadi daya tarik utama. Selain sebagai elemen estetika, atap ini juga berfungsi melindungi penonton dari cuaca tropis. Soekarno meyakini bahwa arsitektur SUGBK tidak hanya meningkatkan citra Indonesia di mata dunia, tetapi juga memberikan identitas yang unik dan membanggakan.
SUGBK bukan hanya sekadar stadion, melainkan simbol kemajuan dan visi Indonesia di era kemerdekaan. Arsitekturnya yang ikonik, khususnya atap temu gelang, terus dikagumi dan menjadi inspirasi bagi pembangunan stadion modern di seluruh dunia. SUGBK terus menjadi kebanggaan bangsa, saksi bisu berbagai peristiwa olahraga dan budaya yang bersejarah.