Ambisi Piala Dunia Pupus: Mengapa Sepak Bola China Tertinggal?

Mimpi Piala Dunia China Terhenti di Jakarta

Langkah tim nasional sepak bola China untuk berlaga di Piala Dunia 2026 terhenti secara dramatis di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta. Kekalahan tipis 0-1 dari Indonesia dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia menjadi pukulan telak bagi ambisi Negeri Tirai Bambu. Gol tunggal Ole Romeny dari titik penalti pada menit ke-45 mengubur harapan China untuk melaju lebih jauh. Hasil ini menempatkan China di posisi juru kunci Grup C dengan hanya mengumpulkan enam poin, sekaligus menutup peluang mereka untuk tampil di putaran final.

Sebelum pertandingan, striker Zhang Yuning dengan lantang menyatakan bahwa laga melawan Indonesia adalah pertarungan hidup mati. Sayangnya, realita di lapangan tidak seindah harapan. Kekalahan ini menambah catatan buruk performa timnas China, termasuk kekalahan memalukan 0-7 dari Jepang pada September 2024.

Ambisi Presiden Xi Jinping dan Realitas Pahit

Presiden Xi Jinping telah lama mencanangkan ambisi besar untuk sepak bola China, meliputi lolos ke Piala Dunia, menjadi tuan rumah, dan meraih gelar juara. Namun, di bawah kepemimpinannya, sepak bola China justru mengalami stagnasi. Kegagalan lolos ke Piala Dunia 2026 menjadi bukti nyata jurang antara ambisi dan realitas.

Mark Dreyer, seorang jurnalis olahraga yang berbasis di Beijing, menyoroti masalah mendasar dalam tata kelola sepak bola China. Menurutnya, intervensi Partai Komunis dalam pengambilan keputusan di Asosiasi Sepak Bola China (CFA) menghambat perkembangan sepak bola. CFA, yang seharusnya independen, justru berada di bawah kendali Administrasi Umum Olahraga (GAS). Bahkan, Presiden CFA saat ini, Song Cai, merangkap jabatan sebagai Wakil Sekretaris Partai Komunis. "Keputusan sepak bola dibuat oleh orang-orang non-sepak bola," ujarnya, menggarisbawahi masalah birokrasi yang menghambat kemajuan.

Akar Rumput yang Lemah dan Krisis Keuangan

Salah satu masalah utama adalah kurangnya fondasi sepak bola akar rumput yang kuat. Berbeda dengan negara-negara sepak bola seperti Inggris dan Brasil, China tidak memiliki liga amatir dan semi-profesional yang memadai untuk mengembangkan bakat muda. Meskipun China mendirikan liga profesional pada 1990-an, fokusnya lebih pada pembentukan klub-klub elite di kota-kota besar tanpa membangun ekosistem akar rumput yang berkelanjutan. Akibatnya, jumlah pemain berkualitas yang mampu bersaing di level internasional sangat terbatas.

Statistik menunjukkan bahwa dengan populasi 20 kali lebih besar dari Inggris, China hanya memiliki sekitar 100.000 pemain terdaftar, jauh tertinggal dibandingkan Inggris yang memiliki lebih dari 1,3 juta pemain terdaftar. Peringkat FIFA timnas pria China pun mencerminkan kondisi ini, dengan berada di posisi ke-90 dunia.

Selain masalah struktural, sepak bola China juga menghadapi tantangan dari krisis ekonomi dan praktik korupsi. Liga Super China, yang sempat mengalami masa keemasan pada 2010-an, kini mengalami penurunan akibat berkurangnya investasi dari perusahaan negara. Sejak pandemi, lebih dari 40 klub dilaporkan bangkrut.

Korupsi juga menjadi masalah serius yang mencoreng citra sepak bola nasional. Mantan pelatih timnas pria, Li Tie, mengakui terlibat dalam pengaturan skor dan suap. Nama-nama besar lain seperti mantan Ketua CFA Chen Xuyuan dan mantan Wakil Direktur GAS Du Zhaocai juga terseret dalam kasus korupsi. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan di kalangan penggemar dan semakin memperburuk prospek sepak bola China di masa depan.

Dengan fondasi yang lemah, investasi yang berkurang, dan citra yang ternoda oleh korupsi, masa depan sepak bola China tampak suram dan penuh tantangan.