Tren Membaca Buku di Kalangan Warga Jakarta: Oase di Tengah Keriuhan Kota

Di tengah gempuran informasi serba cepat dan hiburan instan yang membanjiri media sosial, fenomena menarik muncul di kalangan masyarakat urban Jakarta. Semakin banyak individu yang memilih buku sebagai teman setia, mencari ketenangan batin dan memperkaya wawasan di tengah hiruk pikuk kehidupan kota.

Nurul Hidayati, seorang wanita muda berusia 26 tahun yang tinggal di Kebayoran Baru, menjadi salah satu contohnya. Di tengah kesibukannya sehari-hari, Nurul menyempatkan diri untuk membaca buku "Filosofi Teras" karya Henry Manampiring. Buku ini, yang sempat menjadi perbincangan hangat, dipilih Nurul sebagai panduan untuk menenangkan pikiran dan meresapi makna hidup di tengah tekanan kehidupan urban. Ia mengakui bahwa buku tersebut memberikan perspektif baru tentang cara mengelola stres dan kecemasan.

"Kehidupan modern ini penuh dengan gangguan," ungkap Nurul. "Kadang-kadang saya merasa perlu berhenti sejenak dan merenungkan segala sesuatu lebih dalam." Awalnya, Nurul menganggap filsafat sebagai topik yang rumit dan hanya cocok untuk kalangan akademisi. Namun, setelah membaca "Filosofi Teras," pandangannya berubah drastis. Ia terkesan dengan prinsip-prinsip Stoikisme yang menekankan fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan.

"Buku ini ternyata sangat mudah dipahami dan relevan dengan kehidupan sehari-hari," ujarnya. Ia menambahkan bahwa buku ini membantunya menyadari bahwa selama ini ia sering merasa lelah karena mengkhawatirkan hal-hal di luar kendalinya.

Arga, seorang desainer grafis berusia 30 tahun, memiliki cara berbeda untuk melarikan diri dari rutinitas harian. Ia memilih novel-novel Jepang, khususnya karya Haruki Murakami. Arga baru saja menyelesaikan membaca "Kafka on the Shore," sebuah novel yang membawanya ke dalam dunia surealis namun tetap relevan dengan kehidupan nyata. Baginya, membaca novel ini seperti memasuki dunia yang aneh, gelap, namun penuh emosi.

"Ceritanya surealis tapi tetap nyambung sama kehidupan nyata," kata Arga. Salah satu adegan yang paling membekas dalam benaknya adalah ketika karakter Kafka tinggal di perpustakaan. "Itu seperti simbol keterasingan. Saya juga kadang merasa seperti itu, sendiri di tengah keramaian," tambahnya.

Arga secara rutin meluangkan waktu untuk membaca, baik pada malam hari maupun akhir pekan. Ia bisa menghabiskan waktu hingga dua jam untuk membaca. Menurutnya, membaca memberikan ruang yang lebih besar bagi imajinasi untuk berkembang dibandingkan dengan menonton.

"Kalau baca, saya ikut membangun dunia di kepala sendiri," jelasnya.

Sinta, seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi berusia 22 tahun, juga merasakan manfaat yang sama dari membaca. Belakangan ini, ia tertarik pada buku-buku bertema psikologis. Salah satu buku yang baru saja ia baca adalah "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat" karya Mark Manson. Buku ini membantunya untuk tidak terlalu memikirkan segala sesuatu.

"Buku itu mengajarkan saya untuk tidak terlalu memikirkan semua hal," kata Sinta. "Kadang-kadang hidup itu hanya tentang memilih mana yang penting untuk dipikirkan, sisanya ya diikhaskan." Sinta biasanya membaca selama satu jam sehari, terutama saat berada di transportasi umum. Ia merasa bahwa membaca memberikan pengalaman yang lebih dalam daripada hanya menggulir video pendek di ponsel.

"Kalau baca buku, prosesnya lebih lambat tapi lebih dalam. Aku bisa refleksi, mikir lebih jauh," ucapnya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa di tengah kehidupan kota yang serba cepat dan penuh tekanan, buku tetap menjadi sumber ketenangan, inspirasi, dan refleksi bagi banyak orang. Membaca bukan hanya sekadar hobi, tetapi juga menjadi cara untuk menjaga kesehatan mental dan memperkaya diri.