Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat: Greenpeace Soroti Lima Izin yang Masih Aktif Pasca-Penghentian PT GAG
Aktivitas Pertambangan di Raja Ampat Tuai Sorotan: Greenpeace Ungkap Fakta Baru
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, untuk menghentikan sementara izin pertambangan nikel PT Gag di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menuai tanggapan dari berbagai pihak. Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Iqbal Damanik, memberikan catatan kritis terkait langkah tersebut.
Menurut Iqbal, penghentian sementara ini justru berpotensi menimbulkan kebingungan baru. Pasalnya, saat ini masih terdapat lima izin tambang nikel aktif lainnya di wilayah Raja Ampat yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM. Lokasi tambang tersebut tersebar di beberapa pulau, termasuk Pulau Gag, Pulau Kawe, Pulau Manuran, Pulau Batang Pele, dan Waigeo Besar.
"Apa yang disampaikan Pak Menteri Bahlil, yang katanya mau membuat ketidak-simpangsiuran, itu memungkinkan untuk membuat kesimpangsiuran baru atau kekeliruan," ujar Iqbal.
Greenpeace menyoroti bahwa meskipun pemerintah mengklaim lokasi tambang nikel berada cukup jauh dari kawasan wisata Raja Ampat, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil jelas dilarang oleh aturan yang berlaku. Larangan ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
Kerusakan Lingkungan dan Deforestasi di Raja Ampat
Lebih lanjut, Iqbal mengungkapkan data terkait deforestasi di Raja Ampat yang mencapai angka mengkhawatirkan, yaitu 500 hektare. Dari jumlah tersebut, 300 hektare di antaranya terjadi di Pulau Gag. Kondisi ini diperparah dengan kerusakan terumbu karang yang semakin parah di sekitar Pulau Gag. Mengingat Raja Ampat merupakan rumah bagi 70 persen biodiversitas terumbu karang dunia, kerusakan ini menjadi ancaman serius bagi kelestarian lingkungan.
"Bahkan kami melihat secara langsung, teman-teman scuba diving di sekitar Pulau Gag, itu sudah terlihat kehancuran terumbu karang di sana. Kita tahu bahwa 70 persen biodiversitas terumbu karang di dunia itu ada di Raja Ampat. Dan ini mau kita hancurkan?"
Greenpeace mendesak pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, untuk tidak bersikap lemah terhadap perusahaan BUMN yang memiliki izin tambang di Pulau Gag. Diketahui, saham mayoritas PT Gag dimiliki oleh PT Antam, sebuah perusahaan BUMN. Iqbal menekankan pentingnya dialog antara Kementerian ESDM dan BUMN untuk membahas secara komprehensif permasalahan di Pulau Gag.
Klarifikasi Menteri ESDM dan Penghentian Sementara Operasional Tambang
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa tambang nikel di Raja Ampat dimiliki oleh PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam). Ia mengakui adanya beberapa izin pertambangan di wilayah tersebut, namun hanya PT Gag Nikel yang saat ini beroperasi dengan status Kontrak Karya (KK).
Bahlil menjelaskan bahwa PT Gag Nikel awalnya merupakan pemegang kontrak karya yang dimiliki oleh pihak asing. Setelah pihak asing tersebut berhenti beroperasi, kontrak karya diambil alih oleh negara dan kemudian diberikan kepada PT Antam, yang kemudian mendelegasikan pengelolaannya kepada PT Gag Nikel.
Menyusul kekhawatiran masyarakat dan aktivis lingkungan terkait potensi kerusakan ekosistem Raja Ampat, Menteri ESDM secara resmi menghentikan sementara kegiatan operasional tambang nikel di Raja Ampat.
"Sekarang, tim kami sudah turun, mengecek. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran, maka kami sudah memutuskan lewat Dirjen Minerba, untuk status daripada IUP PT Gag yang sekarang lagi mengelola, itu kan cuma satu ya. Itu untuk sementara kita hentikan operasinya," tutur Bahlil.
Pemerintah berjanji akan melakukan verifikasi lapangan untuk mengevaluasi dampak pertambangan terhadap lingkungan dan mengambil keputusan berdasarkan hasil evaluasi tersebut.