Kontroversi Tambang Nikel di Raja Ampat: Kepemilikan dan Dampak Lingkungan yang Mengkhawatirkan
Aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat, kembali menjadi sorotan tajam setelah aksi protes yang dilakukan aktivis Greenpeace Indonesia pada acara Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Jakarta. Aksi ini menyoroti kekhawatiran mendalam terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh eksploitasi nikel di kepulauan yang terkenal dengan keindahan alamnya itu.
Para aktivis menyuarakan keprihatinan mereka atas kerusakan lingkungan dan potensi ancaman terhadap kehidupan masyarakat lokal akibat aktivitas pertambangan. Greenpeace Indonesia melaporkan temuan pelanggaran aktivitas pertambangan di beberapa pulau di Raja Ampat, termasuk Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Analisis mereka menunjukkan bahwa lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami telah ditebang akibat eksploitasi nikel di tiga pulau tersebut. Selain itu, dokumentasi menunjukkan adanya limpasan tanah yang menyebabkan sedimentasi di pesisir pantai, yang berpotensi merusak ekosistem karang dan perairan Raja Ampat yang kaya.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK), terdapat empat perusahaan pemilik izin tambang nikel yang beroperasi di Pulau Gag, Raja Ampat. Keempat perusahaan tersebut telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), namun tidak semuanya memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Berikut adalah profil singkat keempat perusahaan tersebut:
- PT Gag Nikel: Perusahaan ini memegang kontrak karya sejak tahun 1998. Awalnya sahamnya dimiliki oleh Asia Pacific Nickel Pty Ltd (75%) dan PT Antam Tbk (25%). Namun, sejak tahun 2008, Antam mengakuisisi seluruh saham Asia Pacific Nickel Pty Ltd, sehingga PT Gag Nikel sepenuhnya dikendalikan oleh Antam. Perusahaan ini memiliki luas wilayah izin pertambangan 13.136 hektar dan mulai berproduksi pada tahun 2018.
- PT Anugerah Surya Pratama: Perusahaan ini merupakan penanam modal asing (PMA) yang dimiliki oleh Wanxiang Group, sebuah raksasa nikel asal China. Di Indonesia, induk perusahaannya adalah PT Wanxiang Nickel Indonesia, yang juga beroperasi di Morowali dengan bisnis inti pertambangan nikel dan peleburan feronikel. Area tambangnya terletak di Pulau Waigeo dan Manuran, Papua.
- PT Mulia Raymond Perkasa: Informasi mengenai perusahaan ini relatif terbatas. KLHK mencatat bahwa perusahaan ini melakukan pertambangan di Pulau Batang Pele dan ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH. Akibatnya, seluruh kegiatan eksplorasi perusahaan ini telah dihentikan.
- PT Kawei Sejahtera Mining: Seperti PT Mulia Raymond Perkasa, informasi mengenai perusahaan ini juga terbatas. KLHK menyebutkan bahwa PT Kawei Sejahtera Mining terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 hektar di Pulau Kawe, yang menyebabkan sedimentasi di pesisir pantai. KLHK telah memberikan sanksi administratif berupa pemulihan lingkungan, dan perusahaan terancam dikenakan pasal perdata.
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan yang ketat terhadap aktivitas pertambangan dan penegakan hukum yang tegas untuk memastikan perlindungan lingkungan dan keberlanjutan ekosistem Raja Ampat yang unik dan berharga. Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat menjadi perhatian serius, dan memerlukan tindakan nyata dari pemerintah dan perusahaan terkait untuk meminimalkan kerusakan dan memastikan keberlanjutan lingkungan di wilayah tersebut.