Arsitek Mualaf Mesir di Balik Kesejukan Lantai Marmer Masjid Suci: Kisah Pengabdian dan Keajaiban

Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Mekah, dua tempat suci bagi umat Islam, dikenal dengan lantai marmernya yang senantiasa terasa sejuk, bahkan di tengah terik matahari Arab Saudi. Di balik kenyamanan ini, terdapat kisah inspiratif seorang arsitek mualaf asal Mesir bernama Muhammad Kamal Ismail.

Kamal Ismail bukan sekadar arsitek biasa. Ia adalah sosok kunci dalam perencanaan dan pengawasan proyek pemugaran kedua masjid tersebut, termasuk penggantian lantai dengan marmer berkualitas tinggi. Dedikasinya yang luar biasa tercermin dari penolakannya terhadap imbalan finansial atas jerih payahnya. Meskipun Raja Fahad dan Perusahaan Bin Laden menawarkan upah yang besar, Kamal Ismail dengan tegas menolak, memilih untuk mengabdikan diri sepenuhnya dalam pembangunan rumah Allah tanpa mengharapkan pamrih duniawi.

"Mengapa saya harus menerima uang untuk pekerjaan saya di dua masjid suci? Bagaimana saya akan menghadap Allah di hari kiamat?" ujarnya, mencerminkan ketulusan niatnya.

Kisah pengadaan marmer untuk Masjid Nabawi menjadi babak tersendiri dalam perjalanan pengabdian Kamal Ismail. Belasan tahun sebelumnya, ia telah menggunakan jenis marmer putih khusus dari Yunani untuk lantai Masjidil Haram, yang dimulai pada tahun 1926. Ketika tiba saatnya memperbarui lantai Masjid Nabawi, ia bertekad mencari marmer dengan kualitas serupa.

Namun, pencarian itu tidaklah mudah. Kamal Ismail kembali ke perusahaan marmer yang sama di Yunani, tetapi mendapati bahwa stok marmer yang ia butuhkan telah habis terjual. Dalam sebuah momen yang tampaknya kebetulan, ia bertemu dengan sekretaris perusahaan yang bersedia membantunya mencari jejak pembeli terakhir marmer tersebut.

Setelah pencarian yang melelahkan, sang sekretaris berhasil menemukan informasi bahwa pembeli marmer tersebut adalah sebuah perusahaan konstruksi di Arab Saudi. Tanpa menunda, Kamal Ismail terbang kembali ke tanah air dan menemui direktur administrasi perusahaan tersebut.

Awalnya, direktur tersebut tidak ingat perihal pembelian marmer bertahun-tahun lalu. Namun, setelah berkoordinasi dengan staf gudang, terungkap fakta mengejutkan: marmer tersebut masih tersimpan rapi di gudang perusahaan, belum terpakai sama sekali, dan jumlahnya tepat sesuai dengan kebutuhan Kamal Ismail untuk Masjid Nabawi.

Mendengar kabar tersebut, Kamal Ismail tak kuasa menahan air mata. Ia menceritakan tujuan pencariannya dan menyodorkan cek kosong, meminta direktur perusahaan untuk mengisi nominal yang sesuai. Namun, sang direktur, terharu dengan kisah dan tujuan mulia Kamal Ismail, menolak menerima bayaran apa pun. Ia menyumbangkan seluruh marmer tersebut untuk pembangunan Masjid Nabawi sebagai bentuk sedekah.

Kisah ini adalah bukti nyata bahwa kebaikan dan ketulusan akan selalu menemukan jalannya, bahkan di tengah tantangan yang tampaknya mustahil. Pengabdian Muhammad Kamal Ismail dan kemurahan hati direktur perusahaan marmer menjadi inspirasi bagi kita semua untuk berbuat baik tanpa pamrih dan memberikan yang terbaik untuk kemuliaan agama.