Fadli Zon Ungkap Penulisan Sejarah Nasional Berorientasi Persatuan dan Prestasi Bangsa

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menegaskan bahwa penulisan sejarah Indonesia yang sedang digalakkan pemerintah akan mengutamakan nuansa positif. Hal ini bertujuan untuk memperkuat persatuan bangsa dan menyoroti pencapaian-pencapaian gemilang di masa lampau.

Dalam pernyataannya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Fadli Zon menekankan bahwa penulisan sejarah seharusnya menjadi alat untuk mempersatukan bangsa, bukan malah memecah belah. Ia menjelaskan bahwa fokus utama dalam penulisan ulang sejarah ini adalah menonjolkan prestasi dan keberhasilan bangsa di berbagai era.

"Kita ingin menonjolkan pencapaian-pencapaian, prestasi-prestasi, prioritas-prioritas, dan juga peristiwa-peristiwa pada zaman (lampau) itu," ujarnya. Ia menambahkan bahwa setiap periode sejarah pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, namun penulisan sejarah ini akan lebih banyak menyoroti aspek positifnya.

Fadli Zon menepis anggapan bahwa penulisan sejarah dengan nada positif adalah sesuatu yang keliru. Menurutnya, hal ini justru penting untuk membangun optimisme dan rasa bangga terhadap bangsa. Ia juga menegaskan bahwa penulisan sejarah akan dilakukan oleh para sejarawan yang kompeten di bidangnya, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan adanya distorsi sejarah.

Sebelumnya, Fadli Zon telah menyampaikan bahwa penulisan sejarah ulang ini akan mengedepankan perspektif Indonesia-sentris. Tujuannya adalah untuk menghilangkan bias-bias kolonial, mempersatukan bangsa, dan membuat sejarah lebih relevan bagi generasi muda.

"Kalau mau mencari-cari kesalahan atau mencari-cari hal yang negatif, ya, saya kira itu selalu ada. Jadi, yang kita inginkan tone-nya dari sejarah kita itu adalah tone yang positif, dari era Bung Karno sampai era Presiden Jokowi dan seterusnya," jelasnya.

Namun, pandangan ini mendapat sorotan dari aktivis HAM, Beka Ulung Hapsara. Dalam sebuah forum diskusi, Beka menyoroti bahwa draft awal penulisan ulang sejarah hanya mencantumkan dua peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurutnya, hal ini berpotensi mengabaikan perspektif korban pelanggaran HAM berat yang masih mencari keadilan.

Beka menjelaskan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, terdapat 13 kasus pelanggaran HAM berat yang belum selesai. Ia menekankan pentingnya memasukkan perspektif korban dalam penulisan sejarah agar mereka tidak dilupakan dan rasa keadilan dapat terwujud.

Berikut adalah poin-poin yang menjadi perhatian dalam penulisan sejarah nasional:

  • Persatuan Bangsa: Penulisan sejarah harus menjadi alat untuk mempersatukan bangsa, bukan memecah belah.
  • Prestasi Bangsa: Menonjolkan pencapaian dan keberhasilan bangsa di berbagai era.
  • Perspektif Indonesia-sentris: Menghilangkan bias-bias kolonial dalam penulisan sejarah.
  • Relevansi bagi Generasi Muda: Membuat sejarah lebih menarik dan mudah dipahami oleh generasi muda.
  • Perspektif Korban HAM: Memasukkan perspektif korban pelanggaran HAM berat dalam penulisan sejarah.