Polemik Ukuran Rumah Subsidi: Menteri PKP Akan Bahas Lebih Lanjut dengan Satgas Perumahan

Polemik Ukuran Rumah Subsidi: Menteri PKP Akan Bahas Lebih Lanjut dengan Satgas Perumahan

Rencana perubahan luas minimal rumah subsidi yang diusulkan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menuai beragam reaksi. Usulan yang tertuang dalam draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025 ini memicu diskusi hangat di kalangan pelaku industri perumahan, Satuan Tugas (Satgas) Perumahan, hingga masyarakat luas.

Dalam draf tersebut, luas bangunan minimal rumah subsidi diusulkan menjadi 18 meter persegi dengan luas tanah minimal 25 meter persegi. Hal ini berbeda signifikan dengan ketentuan yang berlaku saat ini, yakni Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023 yang menetapkan luas bangunan minimal 21 meter persegi dan luas tanah minimal 60 meter persegi.

Anggota Satgas Perumahan, Bonny Z Minang, mengungkapkan keterkejutannya atas informasi ini. Ia mengaku baru mengetahui rencana tersebut dari media dan menegaskan bahwa perubahan ini belum pernah dibahas dalam rapat bersama Kementerian PKP. Bonny kemudian mengonfirmasi hal ini kepada Ketua Satgas Perumahan, Hashim Djojohadikusumo, yang juga menyatakan tidak mengetahui dan tidak menyetujui usulan tersebut.

Menteri PKP, Maruarar Sirait, menanggapi penolakan dari Satgas Perumahan dengan menyatakan bahwa aturan tersebut masih dalam tahap draf dan terbuka untuk perubahan. Ia menekankan pentingnya komunikasi dan diskusi dengan semua pihak terkait, termasuk Satgas Perumahan yang dipimpin oleh Hashim Djojohadikusumo. Ara, sapaan akrabnya, berjanji akan mengajak Satgas Perumahan untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai rencana perubahan luas minimal rumah subsidi ini.

Alasan di Balik Usulan Perubahan

Ara menjelaskan bahwa usulan perubahan luas rumah subsidi ini bertujuan untuk menurunkan harga rumah, sehingga lebih terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Ia berpendapat bahwa selain luas bangunan, faktor lain seperti lokasi dan kualitas pengembang juga memengaruhi kelayakan huni sebuah rumah subsidi. Ara mencontohkan banyak rumah subsidi berukuran 60 meter persegi yang justru tidak layak huni karena masalah banjir atau longsor.

"Bagi saya bukan soal ukurannya saja, tapi kualitas pengembangnya dan lain sebagainya itu yang paling penting," tegasnya.

Dengan memperkecil luas bangunan, diharapkan harga rumah subsidi dapat ditekan, terutama di lokasi-lokasi dengan harga tanah yang tinggi. Namun, Ara belum dapat memastikan berapa penurunan harga yang dapat dicapai jika luas rumah subsidi menjadi 18 meter persegi. Ia mengatakan bahwa Kementerian PKP masih akan mendengarkan masukan dari para pengembang sebelum mengambil keputusan final.

Kritik Terhadap Usulan Tersebut

Usulan perubahan luas rumah subsidi ini juga menuai kritik dari berbagai pihak. Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembangan dan Pemasaran Rumah Nasional (Asprumnas), Muhammad Syawali Pratna, menilai bahwa bangunan seluas 18 meter persegi terlalu kecil untuk keluarga yang memiliki anak. Ia bahkan menyebut rumah tipe 18 mirip dengan gudang atau apartemen studio yang tidak memiliki kamar.

Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, juga berpendapat bahwa rumah berukuran 18 meter persegi tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ia menyarankan agar rumah tipe 18 lebih cocok untuk hunian vertikal.

Tahap Selanjutnya

Menteri PKP menegaskan bahwa Kementerian PKP akan terus menjalin komunikasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk pengembang, perbankan, dan masyarakat, sebelum mengambil keputusan final mengenai perubahan luas rumah subsidi. Ia terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun demi menciptakan kebijakan publik yang tepat sasaran.

"Kita berusaha kebijakan publik itu tetap terbuka. Kita bisa menerima kritik dan saran dari siapa pun. Kita juga mendengar kok masukan dari pengembang, masyarakat, dan perbankan kok," ungkapnya.

Dengan adanya diskusi dan masukan dari berbagai pihak, diharapkan kebijakan mengenai rumah subsidi dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak dan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat berpenghasilan rendah.