Panduan Lengkap Pembagian Daging Kurban: Hak dan Ketentuan Bagi Pekurban
Memahami Hak dan Ketentuan Pembagian Daging Kurban: Panduan Lengkap
Idul Adha, momen sakral bagi umat Islam, diwarnai dengan ibadah kurban sebagai wujud syukur dan ketaatan kepada Allah SWT. Daging kurban menjadi berkah yang didistribusikan kepada sesama, sebagai simbol kepedulian sosial dan solidaritas.
Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah, seberapa banyak daging kurban yang boleh dikonsumsi oleh orang yang berkurban (shohibul qurban)? Apakah ada batasan atau aturan khusus dalam Islam terkait pembagian daging ini? Artikel ini akan mengupas tuntas ketentuan pembagian daging kurban, berlandaskan pada Al-Quran, hadis, dan pandangan para ulama.
Hak Shohibul Qurban dalam Pembagian Daging
Al-Quran surat Al-Hajj ayat 36 secara jelas menyebutkan hak bagi orang yang berkurban untuk menikmati sebagian daging kurbannya. Ayat tersebut berbunyi:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَٰلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: "Maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah makan kepada orang yang merasa cukup dan kepada orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan hewan-hewan itu untuk kalian agar kalian bersyukur." (QS. Al-Hajj: 36)
Ayat ini menjadi dasar bahwa memakan sebagian daging kurban adalah bagian dari sunnah yang dianjurkan. Rasulullah SAW pun menganjurkan umatnya untuk menikmati daging kurban, sebagaimana sabdanya:
كُلُوا، وَأَطْعِمُوا، وَادْخِرُوا
"Makanlah, berikanlah, dan simpanlah." (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Daud)
Para ulama menjelaskan bahwa pembagian daging kurban yang paling utama adalah dengan membaginya menjadi tiga bagian:
- Sepertiga: Untuk dikonsumsi oleh shohibul qurban dan keluarganya.
- Sepertiga: Untuk diberikan kepada tetangga, teman, dan kerabat, baik yang mampu maupun kurang mampu.
- Sepertiga: Untuk disedekahkan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan.
Pembagian ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Ashfahani, yang menjelaskan bagaimana Rasulullah SAW membagi daging kurban.
Pandangan Ulama tentang Konsumsi Daging Kurban
Dalam kitab-kitab fikih, para ulama dari berbagai mazhab memiliki pandangan yang serupa mengenai hak shohibul qurban untuk menikmati daging kurbannya. Mazhab Hanafi, misalnya, memperbolehkan orang yang berkurban untuk memakan sebagian daging kurban dengan niat tabarruk (mengharap berkah dari ibadah). Hal ini menunjukkan bahwa ibadah kurban bukan hanya tentang penyembelihan hewan, tetapi juga tentang mendekatkan diri kepada Allah melalui berbagi dan mensyukuri nikmat-Nya.
Larangan Jual Beli Daging Kurban
Islam melarang keras segala bentuk jual beli daging kurban, atau bagian lain dari hewan kurban. Daging kurban adalah amanah dan sedekah yang harus dimanfaatkan untuk kebaikan dan membantu sesama, bukan untuk mencari keuntungan materi. Bahkan, upah bagi tukang jagal pun tidak boleh diambil dari bagian hewan kurban, melainkan harus dibayarkan dengan uang.
Hal ini diperkuat dengan riwayat dari Ali bin Abi Thalib RA, yang menceritakan bahwa Nabi SAW memerintahkannya untuk mengurus penyembelihan unta kurban dan membagikan seluruh bagiannya, termasuk daging, kulit, dan pelana, serta melarang memberikan apapun kepada tukang jagal sebagai upah.
Kesimpulan
Orang yang berkurban memiliki hak untuk menikmati sebagian daging kurbannya, sebagai bentuk rasa syukur dan tabarruk. Namun, Islam juga menganjurkan untuk mendistribusikan sebagian besar daging kurban kepada mereka yang membutuhkan, sebagai wujud kepedulian sosial dan solidaritas. Pembagian daging kurban yang ideal adalah sepertiga untuk keluarga, sepertiga untuk kerabat dan tetangga, dan sepertiga untuk fakir miskin. Jual beli daging kurban dilarang keras dalam Islam, karena bertentangan dengan prinsip ibadah kurban sebagai bentuk sedekah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.