Eksploitasi Tambang Nikel Ancam Status Geopark Raja Ampat

Dewan Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Marcellus Hakeng Jayawibawa, menyuarakan kekhawatiran mendalam terkait aktivitas pertambangan di Raja Ampat. Ia mengingatkan pemerintah akan potensi hilangnya status geopark yang diakui UNESCO jika pengelolaan kawasan tersebut terus diabaikan. Pernyataan ini muncul di tengah sorotan terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan, khususnya tambang nikel.

Marcellus menekankan bahwa Raja Ampat, sebagai rumah bagi 75 persen spesies terumbu karang dunia, tidak seharusnya dikorbankan demi kepentingan industri pertambangan. Kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang tidak hanya menjadi kerugian bagi Papua Barat Daya, tetapi juga merupakan kerugian global. Laporan dari Greenpeace menunjukkan bahwa lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi di Pulau Gag telah hancur akibat pertambangan. Sedimentasi yang mencemari laut juga menyebabkan kerusakan signifikan pada terumbu karang dan mengganggu ekosistem laut yang menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat.

Ia menyoroti langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang telah menghentikan sementara operasi tambang nikel PT Gag Nikel sebagai sebuah langkah positif, namun menekankan bahwa langkah ini harus menjadi awal dari penghentian total. PT Gag Nikel sendiri merupakan anak perusahaan dari PT Antam Tbk, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Marcellus menegaskan bahwa status BUMN tidak seharusnya menjadi alasan untuk mentolerir pelanggaran prinsip-prinsip ekologis. Sebaliknya, BUMN seharusnya menjadi contoh dalam menjaga lingkungan.

Marcellus mendesak pemerintah untuk menjadikan kasus Raja Ampat sebagai pelajaran dalam merumuskan kebijakan yang adil secara ekologis dan sosial. Ia menekankan pentingnya melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam, sesuai dengan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC). Masyarakat adat tidak boleh hanya menjadi objek, tetapi harus menjadi subjek utama dalam pengambilan keputusan karena mereka adalah pihak yang paling merasakan dampak dari aktivitas pertambangan.

Selain itu, Marcellus menyoroti kurangnya partisipasi dari lembaga akademik dan ilmiah dalam penilaian risiko lingkungan dari proyek-proyek besar seperti tambang nikel di pulau-pulau kecil. Ia menyarankan pembentukan panel ahli independen untuk mengevaluasi proyek-proyek pertambangan, sehingga keputusan strategis tidak hanya didasarkan pada laporan perusahaan, tetapi juga melalui validasi independen dari kalangan akademik dan masyarakat sipil.

Marcellus juga mengingatkan tentang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran. Ia menyimpulkan bahwa kasus Raja Ampat bukanlah yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir, jika tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam.