Revisi RUU TNI: Potensi Konflik dan Implikasi Terhadap Birokrasi Sipil
Revisi RUU TNI: Potensi Konflik dan Implikasi Terhadap Birokrasi Sipil
Lembaga pengawas Imparsial telah menyuarakan keprihatinan serius terkait revisi Pasal 47 dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Revisi tersebut, menurut Imparsial, berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap sistem rekrutmen dan jenjang karier Aparatur Sipil Negara (ASN), serta mengancam prinsip netralitas birokrasi. Kekhawatiran ini muncul seiring dengan rencana perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif.
Dalam catatan kritisnya pada Juni 2024, Imparsial menekankan bahwa penempatan prajurit aktif dalam posisi sipil dapat mengabaikan kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan. Hal ini dinilai akan mengganggu sistem meritokrasi dalam rekrutmen ASN dan berpotensi memicu ketidakadilan dalam jenjang karier. Lebih lanjut, Imparsial memperingatkan adanya risiko 'militerisasi' di kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian, jika revisi ini disahkan tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya.
"Penempatan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait. Selain itu, hal ini juga berpotensi mengacaukan pola rekrutmen dan pembinaan karier ASN yang seharusnya diatur secara ajeg dan berjenjang," tegas Imparsial dalam keterangan resminya. Pernyataan ini menegaskan kekhawatiran akan tergerusnya profesionalisme ASN dan pengabaian prinsip-prinsip meritokrasi dalam perekrutan dan pengembangan karier.
Perdebatan mengenai revisi Pasal 47 ini muncul ke permukaan setelah Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, mengumumkan rencana pemerintah untuk mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI, yang salah satunya berkaitan dengan pasal tersebut. Utut menjelaskan bahwa DIM ini akan membahas revisi lingkup tugas TNI (Pasal 47), usia pensiun (Pasal 53), dan kedudukan TNI (Pasal 3). Rapat Komisi I DPR pada Senin, 10 Maret 2025, menjadi forum awal pembahasan DIM tersebut.
Pasal 47 UU TNI saat ini mengatur ketentuan prajurit yang ingin menduduki jabatan sipil. Ayat (1) mengatur bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun dini atau mengundurkan diri. Ayat (2) secara spesifik mencantumkan jabatan-jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif, meliputi:
- Kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara
- Pertahanan Negara
- Sekretaris Militer Presiden
- Intelijen Negara
- Sandi Negara
- Lembaga Ketahanan Nasional
- Dewan Pertahanan Nasional
- Search and Rescue (SAR) Nasional
- Narkotika Nasional
- Mahkamah Agung
Kekhawatiran muncul dari usulan penambahan frasa pada ayat (2) oleh Koalisi Masyarakat Sipil, yaitu frasa 'serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden'. Koalisi Masyarakat Sipil menilai penambahan ini sangat berbahaya karena akan memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif secara signifikan, melebihi batasan 10 kementerian dan lembaga yang tercantum dalam UU TNI yang berlaku saat ini. Mereka menekankan potensi penyalahgunaan wewenang dan hilangnya transparansi dalam proses pengisian jabatan sipil jika usulan tersebut diterima.
Perdebatan seputar revisi RUU TNI ini menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara peran militer dan sipil dalam pemerintahan. Penting bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan secara matang implikasi dari revisi tersebut terhadap sistem birokrasi, prinsip meritokrasi, dan netralitas pemerintahan, guna mencegah potensi konflik kepentingan dan memastikan keberlangsungan tata kelola pemerintahan yang baik.