Eksploitasi Tambang Nikel di Raja Ampat Menuai Kontroversi: Tinjauan UU yang Melarang Penambangan di Pulau Kecil

Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir, kini menjadi sorotan tajam. Izin eksploitasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memicu gelombang kritik dari berbagai pihak.

Protes publik mencapai puncaknya saat aktivis Greenpeace Indonesia dan seorang perwakilan masyarakat adat Papua melakukan aksi demonstrasi di Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Jakarta. Mereka menyerukan penghentian aktivitas pertambangan yang dianggap merusak lingkungan dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat lokal.

Landasan Hukum Larangan Tambang di Pulau Kecil

Sejumlah pihak merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai dasar hukum yang melarang aktivitas penambangan di pulau-pulau kecil. UU tersebut secara spesifik mengatur batasan dan larangan terkait pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 1 UU Nomor 27 Tahun 2007 mendefinisikan pulau kecil sebagai pulau dengan luas kurang dari atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta ekosistemnya. Pasal 35 UU tersebut secara tegas melarang penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil jika kegiatan tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan, serta merugikan masyarakat sekitar.

Larangan ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menegaskan bahwa penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau kecil dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan, dan tidak adil bagi generasi mendatang.

Pulau Gag, salah satu lokasi pertambangan nikel di Raja Ampat, memiliki luas sekitar 77 kilometer persegi dan berjarak hanya 30 kilometer dari pusat kepulauan Raja Ampat. Dengan demikian, berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2007, Pulau Gag termasuk dalam kategori pulau kecil.

Pasal Karet dalam UU?

Namun, Pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 juga dianggap memiliki celah interpretasi. Aktivitas pertambangan dapat diizinkan di pulau kecil jika pengelola tambang mengklaim bahwa kegiatan mereka tidak merusak lingkungan, tidak mencemari lingkungan, dan tidak merugikan masyarakat sekitar. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa pasal tersebut dapat menjadi "pasal karet" yang dimanfaatkan untuk melegalkan aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan.

Klarifikasi Menteri ESDM

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, membantah bahwa aktivitas pertambangan di Raja Ampat dilakukan di Pulau Piaynemo, yang merupakan ikon pariwisata daerah tersebut. Ia menjelaskan bahwa Raja Ampat terdiri dari beberapa pulau dengan fungsi yang berbeda-beda, termasuk kawasan hutan konversi, pariwisata, dan pertambangan.

Bahlil menyadari kekhawatiran publik terkait potensi kerusakan ekosistem akibat aktivitas tambang nikel di Raja Ampat. Ia berjanji akan melakukan verifikasi terhadap foto-foto yang beredar di media sosial yang menunjukkan dampak negatif pertambangan di kawasan wisata tersebut. Ia juga menegaskan komitmen pemerintah untuk melindungi kawasan pariwisata Raja Ampat dari aktivitas pertambangan.

Pemerintah menyatakan akan tetap melindungi wilayah pariwisata Raja Ampat dari aktivitas pertambangan nikel. Komitmen ini sebagai bentuk dukungan pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan sekaligus sektor pariwisata di daerah tersebut.