Warga Gugat UU Mata Uang ke MK: Redenominasi Rupiah untuk Sederhanakan Transaksi

Warga Gugat UU Mata Uang ke MK: Redenominasi Rupiah untuk Sederhanakan Transaksi

Seorang warga negara, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Mata Uang ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan bernomor 23/PUU-XXIII/2025 ini terdaftar di MK pada Selasa (11/3/2025) dan berfokus pada penyederhanaan nilai mata uang Rupiah, khususnya mengubah nilai Rp 1.000 menjadi Rp 1. Simanjuntak berargumen bahwa kelebihan angka nol pada pecahan mata uang saat ini menyebabkan inefisiensi dan kerumitan dalam berbagai aspek transaksi ekonomi.

Dalam petitumnya, Simanjuntak meminta MK untuk mengubah Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Mata Uang. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang ciri umum Rupiah kertas dan logam, termasuk sebutan pecahan dalam angka dan huruf. Simanjuntak mengusulkan perubahan yang intinya mengkonversi nilai nominal Rp 1.000 menjadi Rp 1, dengan tujuan menyederhanakan penulisan dan pengolahan angka dalam berbagai transaksi.

Alasan utama gugatan ini adalah kompleksitas yang ditimbulkan oleh banyaknya angka nol dalam transaksi keuangan sehari-hari. Simanjuntak menjabarkan beberapa dampak negatif dari hal tersebut. Pertama, transaksi dengan nominal besar menjadi lebih memakan waktu dan rentan terhadap kesalahan perhitungan. Kedua, kelebihan angka nol memaksa pembangunan infrastruktur sistem pembayaran nontunai yang mahal dan kompleks. Saat ini, kapasitas komputer yang terbatas (hanya mampu menampung 15 digit angka) sudah dihadapkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah mencapai 16 digit angka. Ketiga, kebutuhan uang kertas dengan pecahan besar meningkat, menyebabkan biaya percetakan yang lebih tinggi karena uang kertas memiliki masa edar yang lebih pendek dibandingkan uang logam. Contoh nyata permasalahan ini terlihat pada kendala operasional di SPBU yang hanya memiliki enam digit angka pada meteran, menyebabkan kesulitan dalam memproses transaksi di atas Rp 1.000.000. Praktik penambahan angka nol manual pun terpaksa dilakukan untuk mengatasi masalah ini.

Lebih lanjut, Simanjuntak berpendapat bahwa redenominasi mata uang, yaitu penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengurangi nilai intrinsiknya, berbeda dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang. Ia meyakini bahwa berdasarkan pengalaman negara lain, pengurangan angka nol pada mata uang dapat meningkatkan kinerja ekonomi dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan. Dengan demikian, gugatan ini bertujuan untuk menciptakan sistem transaksi yang lebih efisien, akurat, dan modern.

Gugatan ini memiliki implikasi luas bagi sistem keuangan Indonesia. Hasil dari proses hukum ini akan menentukan apakah Indonesia akan melakukan langkah signifikan dalam menyederhanakan mata uang Rupiah, sebuah langkah yang diyakini dapat membawa perbaikan dan efisiensi dalam perekonomian nasional. Mahkamah Konstitusi kini akan meneliti dan memutuskan atas gugatan ini. Keputusan MK akan menjadi penentu arah kebijakan moneter ke depan.