Trauma Mendalam Akibat Perundungan, Siswa SD di Bekasi Ingin Ganti Sekolah
Kasus perundungan yang menimpa seorang siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Pondok Gede, Kota Bekasi, meninggalkan luka mendalam. Korban, yang menjadi sasaran kekerasan oleh empat teman sekelasnya pada Jumat, 16 Mei 2025, kini mengalami trauma berat dan ketakutan untuk kembali ke sekolah.
Ibu korban, yang hanya ingin disebut sebagai A, mengungkapkan bahwa putranya kini menjadi lebih pendiam dan murung. "Trauma sudah pasti. Anak saya itu introvert, sekarang malah sering murung," ujarnya dengan nada prihatin. Selain trauma psikologis, korban juga mengalami luka fisik berupa memar di beberapa bagian tubuh dan pergeseran tulang pundak akibat pukulan dari para pelaku.
Ketakutan akan bertemu kembali dengan para pelaku perundungan membuat korban enggan untuk berangkat ke sekolah. Bahkan, ia mengungkapkan keinginannya untuk pindah sekolah agar terhindar dari lingkungan yang membuatnya trauma. "Ingin pindah sekolah karena takut, apalagi masih ada tiga pelaku di sana," kata A, menirukan ucapan anaknya.
Merespons kasus ini, Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, menyatakan komitmennya untuk memberikan pendampingan psikologis kepada korban maupun pelaku. Ia berencana menerjunkan tim psikolog untuk membantu memulihkan kondisi mental mereka. "Kami akan melakukan pendampingan psikologis terhadap korban dan pelaku agar dapat menumbuhkan rasa percaya diri serta menghilangkan trauma," jelasnya.
Proses pemulihan mental ini diperkirakan akan membutuhkan waktu yang cukup lama, mengingat usia para siswa yang masih di bawah umur. Tri Adhianto memperkirakan bahwa dibutuhkan lebih dari 15 sesi pertemuan untuk mencapai hasil yang optimal. Selain itu, ia juga telah meminta Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi untuk turut serta memberikan pendampingan dan edukasi. Keluarga korban juga ditawarkan bantuan hukum untuk mengawal kasus ini.
Kronologi Kejadian
Peristiwa perundungan ini bermula ketika A mengingatkan putranya untuk menghindari teman-teman yang sering memalak. Keesokan harinya, korban menuruti nasihat ibunya dan menolak ajakan dari keempat temannya. Penolakan ini memicu kemarahan para pelaku, yang kemudian melakukan tindakan kekerasan terhadap korban.
Menurut penuturan A, salah seorang pelaku langsung menampar anaknya. Dalam kondisi ketakutan, korban kemudian dibawa ke ruang kelas di lantai atas sekolah. Di sana, dua pelaku mengunci pintu, sementara dua lainnya melakukan kekerasan fisik terhadap korban. "Ada dua orang yang mukul di kelas itu," ungkap A.
Setelah kejadian tersebut, korban segera melaporkan kejadian tersebut kepada orang tuanya. A kemudian mengadukan hal tersebut kepada pihak sekolah.
Mediasi dan Kekecewaan
Pihak sekolah memfasilitasi mediasi antara keluarga korban dan keluarga pelaku. Dalam mediasi tersebut, disepakati bahwa masalah ini akan diselesaikan secara kekeluargaan. Keluarga pelaku juga berjanji untuk menanggung biaya pengobatan korban.
Namun, beberapa hari setelah mediasi, A mengaku kecewa karena janji tersebut tidak ditepati. Hingga saat ini, biaya pengobatan anaknya, termasuk biaya ortopedi, belum dibayarkan. "Belum terbayar itu sekitar Rp 400.000-Rp 500.000 dan itu belum biaya ortopedi," ujarnya.
A berharap keluarga pelaku bertanggung jawab untuk menanggung seluruh biaya pengobatan anaknya. Ia berharap anaknya dapat segera pulih dan kembali bersekolah dengan nyaman. "Ini hanya perlu terapi biar tulangnya itu balik ke semula lagi karena dia masih kecil, kan. Intinya, saya ingin ada tanggung jawab," imbuhnya dengan nada penuh harap.