Menteng: Transformasi dari Hutan Belantara Menjadi Ikon Kemewahan Jakarta
Menteng, sebuah kawasan yang identik dengan kemewahan dan ketenangan di jantung Jakarta, menyimpan sejarah panjang yang bermula jauh sebelum menjadi lingkungan perumahan elit seperti yang dikenal saat ini. Asal-usul Menteng tak lepas dari serangkaian peristiwa penting, termasuk wabah penyakit yang melanda Batavia (Jakarta tempo dulu) dan perubahan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda.
Dari Wabah Hingga Pemindahan Pusat Kota
Pada awalnya, pusat pemerintahan dan aktivitas ekonomi terpusat di Batavia, yang kini dikenal sebagai kawasan Kota Tua. Namun, kondisi sanitasi yang buruk dan merebaknya wabah penyakit, terutama malaria, memaksa pemerintah kolonial untuk mencari lokasi baru yang lebih sehat dan strategis. Catatan sejarah menunjukkan bahwa ribuan orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit di Batavia, dengan malaria menjadi salah satu penyebab utama. Situasi ini diperparah oleh tambak-tambak ikan di pesisir utara Batavia yang menjadi sarang nyamuk.
Selain wabah penyakit, faktor lain seperti pendangkalan sungai akibat letusan Gunung Salak, pembantaian etnis Tionghoa, dan kebangkrutan VOC juga turut mendorong pemindahan pusat kota ke Weltevreden (Lapangan Banteng). Perpindahan ini membawa konsekuensi logis, yaitu kebutuhan akan perumahan yang layak bagi para pejabat pemerintahan yang bertugas di Weltevreden.
Menteng: Lahir dari Kebutuhan Hunian Elit
Sejarawan Asep Kambali menjelaskan bahwa pengembangan kawasan Menteng merupakan inisiatif Pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan NV de Bouwploeg. Tujuannya adalah menyediakan hunian eksklusif bagi para pejabat Belanda. Sebelum menjadi kawasan perumahan, Menteng merupakan area hutan belantara pada sekitar tahun 1600-an. Pada abad ke-18, barulah mulai berdiri bangunan-bangunan di atas lahan yang dimiliki oleh tuan tanah.
Catatan sejarah mencatat beberapa nama pemilik tanah Menteng pada masa lalu, seperti Assan Nina Daut, Pieter J. du Chene de Vienne, dan Jakob P. Barends. Kemudian tanah tersebut dimiliki oleh orang-orang Arab. Keluarga Shahab tercatat sebagai pemilik tanah Menteng sejak pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Lahan tersebut ditanami padi, rumput, pohon kelapa, dan tanaman Menteng. Pada tahun 1908, NV de Bouwploeg membeli tanah Menteng seluas 69 hektare dengan harga 238.870 gulden.
Pengembangan Menteng tidak hanya mencakup tanah partikulir Menteng, tetapi juga tanah partikulir Gondangdia. Pada tahun 1910, pemerintah kolonial menunjuk Komisi Pengawasan Pengurusan Tanah Menteng untuk merencanakan dan membangun Nieuw Gondangdia (Menteng). Salah satu tokoh kunci dalam komisi ini adalah PAJ Moojen, pendiri NV De Bouwploeg, yang mengajukan rancangan desain kota hunian Menteng. Setelah melalui penyempurnaan oleh FJ Kubatz, rancangan tersebut disetujui pada tahun 1912.
Masa Suram dan Kebangkitan Kembali
Pengembangan Menteng sempat terhenti pada masa penjajahan Jepang hingga tahun 1949. Pembangunan kembali bergeliat setelah tahun 1950, dengan pembangunan rumah-rumah besar yang menandai kembalinya Menteng sebagai kawasan hunian elit.
Namun, perubahan mulai terasa pada awal 1970-an, ketika lalu lintas semakin padat dan kawasan Menteng tidak lagi setenang dulu. Banyak penduduk yang memilih pindah dan bisnis mulai masuk ke kawasan tersebut, mengubah karakter Menteng secara perlahan.
Meskipun demikian, Menteng tetap menjadi salah satu kawasan paling prestisius di Jakarta, dengan sejarah panjang dan arsitektur yang unik. Transformasinya dari hutan belantara menjadi ikon kemewahan merupakan cerminan dari perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di Jakarta selama berabad-abad.