Pergeseran Preferensi Masyarakat: Antara Asuransi Kesehatan Swasta dan BPJS di Tengah Kenaikan Biaya
Dilema Asuransi Kesehatan: Masyarakat Kelas Menengah dan Pilihan BPJS
Kebijakan baru yang mengharuskan peserta asuransi kesehatan menanggung sebagian biaya klaim, sebesar 10 persen, memicu perdebatan di kalangan masyarakat, khususnya kelas menengah. Aturan ini berpotensi mengubah lanskap asuransi kesehatan di Indonesia, mendorong sebagian masyarakat untuk beralih dari asuransi swasta ke BPJS Kesehatan.
Pengamat asuransi, Dedy Kristianto, menyoroti potensi migrasi peserta asuransi swasta ke BPJS Kesehatan karena skema co-payment yang dinilai memberatkan. Beban pengeluaran tambahan ini dapat memicu surrender rate yang tinggi pada perusahaan asuransi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri berupaya menyeimbangkan kondisi ini, mencari solusi agar perusahaan asuransi tetap sehat dalam jangka panjang. Regulasi ini diharapkan dapat mencegah moral hazard dan penggunaan layanan kesehatan berlebihan.
Irvan Rahardjo, pengamat asuransi lainnya, mengimbau masyarakat untuk menerima skema co-payment sebagai bagian dari pembagian risiko. Menurutnya, hal ini lebih baik daripada menanggung kenaikan premi asuransi kesehatan yang terus melonjak akibat inflasi medis. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) juga melaporkan bahwa beberapa perusahaan telah menyesuaikan harga premi produk asuransi kesehatan mereka sejak awal tahun.
Ketua Dewan Pengurus AAJI, Budi Tampubolon, menjelaskan bahwa kenaikan klaim asuransi kesehatan berdampak langsung pada premi asuransi. Rata-rata kenaikan klaim mencapai 29 persen. Jika tren ini berlanjut, asuransi kesehatan swasta berpotensi menjadi tidak terjangkau bagi sebagian masyarakat, sehingga mereka akan bergantung sepenuhnya pada BPJS Kesehatan.
Budi menambahkan bahwa skema co-payment bukan hal baru dan telah diterapkan di berbagai negara. Surat Edaran OJK Nomor 7 Tahun 2025 merupakan langkah strategis untuk memperkuat tata kelola dan keberlanjutan ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia. Aturan ini menetapkan bahwa pemegang polis menanggung minimal 10 persen dari total klaim rawat jalan atau rawat inap, dengan batas maksimum Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap.
OJK menilai regulasi ini sebagai solusi untuk mengendalikan biaya klaim, meningkatkan transparansi manfaat, dan melindungi hak masyarakat. AAJI memandang aturan ini sebagai peluang untuk membangun sistem asuransi kesehatan yang lebih adil dan efisien.
Inflasi medis di Indonesia terus meningkat. Data dari Mercer Marsh Benefits menunjukkan inflasi medis pada tahun 2024 sebesar 10,1 persen, dan diperkirakan mencapai 19 persen pada tahun 2025. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan inflasi medis tertinggi kedua di Asia Pasifik.
Perusahaan asuransi yang tidak ingin kehilangan pangsa pasar harus berinovasi, menawarkan produk dengan premi yang lebih terjangkau dan meningkatkan pelayanan. Keseimbangan antara keberlanjutan industri asuransi dan kemampuan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini.