Jejak Panjang Perjalanan Haji Nusantara di Era Kolonial: Antara Kapal Layar dan Agen Perjalanan
Perjalanan ibadah haji bagi masyarakat Nusantara di masa lampau menyimpan kisah yang penuh tantangan dan perjuangan. Jauh sebelum kemudahan transportasi modern seperti pesawat terbang, para calon haji harus menempuh perjalanan panjang dan berisiko dengan menggunakan kapal laut.
Transportasi Laut: Andalan Utama
Sebelum kehadiran kapal uap, kapal layar menjadi tulang punggung transportasi haji. Perjalanan laut dari Indonesia ke Jeddah memakan waktu yang sangat lama. Setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, perjalanan laut dari Indonesia ke Jeddah menjadi lebih cepat, murah, dan aman. Kesibukan musim haji pada era kolonial dimulai sejak bulan Rajab, dengan persiapan keberangkatan yang memakan waktu hingga Zulkaidah. Beberapa kelompok terakhir kapal haji bahkan baru berangkat dari Hindia Belanda pada bulan Sya'ban atau awal Ramadhan, tiba di Pelabuhan Jeddah pada pertengahan Ramadhan atau Syawal. Akibatnya, banyak jamaah haji zaman dahulu yang merayakan dua hari raya besar di Makkah.
Peran Agen Perjalanan Haji
Keberangkatan haji pada masa kolonial juga melibatkan peran agen-agen perjalanan. Di Batavia, terdapat banyak kantor agen pelayaran yang membantu mengatur perjalanan haji. Calon haji dari desa akan menerima surat jalan melalui syekh, yang juga bertindak sebagai kepala rombongan. Proses pengurusan surat jalan melibatkan kantor perusahaan kapal, kepala Pelabuhan Tanjung Priok, dan agen lainnya. Pada hari keberangkatan, kepala pelabuhan akan memberikan surat jalan kepada calon haji yang berhak.
Pada awalnya, pelabuhan di Batavia dan Padang ditetapkan sebagai tempat embarkasi haji. Kemudian, pelabuhan lainnya seperti Sabang, Makassar, Surabaya, Palembang, dan Medan menyusul ditetapkan sebagai tempat embarkasi haji.