Kontroversi Izin Tambang Nikel di Raja Ampat: Kilas Balik dan Pembelaan Pemerintah

Kontroversi Izin Tambang Nikel di Raja Ampat: Kilas Balik dan Pembelaan Pemerintah

Kebijakan pemerintah terkait izin pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali menjadi sorotan. Aktivitas pertambangan di wilayah yang dikenal dengan keindahan alamnya ini menuai kritik dari berbagai pihak, terutama para pemerhati lingkungan.

Kritik tersebut didasarkan pada dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Undang-undang ini secara tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil dengan luas kurang dari 2.000 kilometer persegi, dengan alasan potensi kerusakan lingkungan seperti sedimentasi dan kerusakan hutan.

Ironisnya, kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat, termasuk yang dilakukan oleh PT Gag Nikel, anak perusahaan PT Antam Tbk, berlokasi dekat dengan kawasan wisata bahari yang sangat rentan terhadap dampak lingkungan.

Penjelasan dan Pembelaan Pemerintah

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui pernyataan resminya pada 8 Juni 2025, menegaskan bahwa seluruh kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk aspek perlindungan lingkungan dan keberlanjutan wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil.

Pemerintah mengungkapkan bahwa hingga saat ini, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki izin resmi beroperasi di wilayah Raja Ampat. Dua di antaranya, PT Gag Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP), memperoleh izin langsung dari pemerintah pusat. PT Gag Nikel mendapatkan izin Operasi Produksi sejak 2017, sementara PT ASP, yang merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) asal China, telah beroperasi sejak 2013.

Perlu diketahui bahwa pada tahun 2017, jabatan Menteri ESDM dipegang oleh Ignasius Jonan, yang menjabat dari 14 Oktober 2016 hingga 23 Oktober 2019 sebelum digantikan oleh Arifin Tasrif.

Sementara itu, tiga perusahaan tambang nikel lainnya, yaitu PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham, memperoleh izin dari pemerintah daerah (Bupati Raja Ampat) pada tahun 2013 dan 2015.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, sebelumnya mengklaim bahwa pertambangan nikel di Raja Ampat tidak menimbulkan masalah, sehingga pemerintah tetap memberikan izin eksplorasi dan eksploitasi. Ia menanggapi tudingan pelanggaran UU Nomor 27 Tahun 2007, yang diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, yang melarang pertambangan di pulau-pulau kecil dan pesisir.

Tri Winarno menjelaskan bahwa PT Gag Nikel awalnya beroperasi di bawah skema Kontrak Karya (KK) dan termasuk dalam 13 Kontrak Karya yang dikecualikan dari larangan aktivitas di hutan lindung berdasarkan Undang-Undang Kehutanan.

Tri Winarno juga menyatakan bahwa izin tambang yang sudah diberikan tidak akan mengalami perubahan tata ruang berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Klaim Tidak Merusak Lingkungan

Tri Winarno mengklaim bahwa luas lahan yang dibuka untuk pertambangan nikel di Pulau Gag tidak terlalu besar dan sebagian lahan bekas tambang telah direklamasi oleh PT Gag Nikel. Ia menyebutkan bahwa dari total 263 hektar, 131 hektar telah direklamasi dan 59 hektar telah dinilai berhasil.

Berdasarkan pantauan Kementerian ESDM dari udara, tidak terlihat sedimentasi di area pesisir. Oleh karena itu, pemerintah menilai bahwa aktivitas pertambangan nikel PT Gag tidak bermasalah.

Menurut Tri Winarno, inspektur tambang Kementerian ESDM telah diturunkan untuk memeriksa seluruh tambang nikel di Raja Ampat, dan laporan mereka akan digunakan oleh Menteri ESDM untuk mengambil keputusan.

Selain PT Gag Nikel, perusahaan lain yang memiliki tambang nikel di Raja Ampat antara lain PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Mulia Raymond Perkasa.

Kontroversi ini menyoroti kompleksitas pengelolaan sumber daya alam di wilayah yang memiliki nilai ekologis tinggi, serta pentingnya penegakan hukum dan transparansi dalam pemberian izin pertambangan.