Eksploitasi Nikel Picu Kerusakan Ekosistem dan Ancam Kesehatan Masyarakat: Studi Ungkap Dampak Mengerikan Pertambangan
Pertambangan Nikel: Dilema Antara Energi Bersih dan Kerusakan Lingkungan
Ekspansi pertambangan nikel, didorong oleh meningkatnya permintaan global untuk baterai kendaraan listrik, memicu kekhawatiran mendalam terkait dampak lingkungan dan kesehatan manusia. Sebuah studi terbaru dari Universitas Queensland (UQ), Australia, menyoroti konsekuensi serius dari pembukaan lahan untuk pertambangan nikel, yang berpotensi memperparah perubahan iklim secara signifikan.
Dr. Evelyn Mervine dari UQ, setelah menganalisis data dari ratusan lokasi tambang nikel di seluruh dunia, mengungkapkan bahwa jejak lahan yang dibutuhkan untuk pertambangan nikel jauh lebih besar dari perkiraan sebelumnya. Emisi karbon biomassa akibat pembukaan lahan, terutama di ekosistem yang kaya karbon seperti hutan hujan tropis dan hutan bakau, seringkali diabaikan dalam perhitungan karbon, laporan keberlanjutan, dan pengambilan keputusan.
Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia, menghadapi tantangan berat dalam menyeimbangkan manfaat ekonomi dari industri pertambangan nikel dengan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal. Di Maluku Utara, aktivitas pertambangan di Kawasan Industri Weda Bay Indonesia (IWIP) telah memicu kontroversi terkait pelanggaran hak-hak masyarakat adat, deforestasi, polusi udara dan air, serta emisi gas rumah kaca yang signifikan.
Dampak Pertambangan Nikel Terhadap Ekosistem dan Masyarakat
Laporan dari Climate Rights International (CRI) mengungkapkan bahwa pertambangan nikel di Maluku Utara menjadi salah satu penyebab utama deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ribuan hektar hutan tropis telah ditebang untuk konsesi pertambangan nikel, mengakibatkan hilangnya sejumlah besar karbon yang tersimpan di hutan.
Masyarakat yang bergantung pada alam untuk mata pencaharian mereka juga merasakan dampak buruk dari pertambangan nikel. Perusakan hutan, akuisisi lahan pertanian, degradasi sumber daya air tawar, dan kerusakan perikanan telah mempersulit kehidupan nelayan tradisional, petani, pembuat sagu, dan pemburu.
Kualitas air yang menurun akibat aktivitas pertambangan dan penggundulan hutan juga mengancam kesehatan masyarakat. Penduduk setempat melaporkan bahwa air minum mereka tercemar, menyebabkan masalah kesehatan seperti sakit perut. Di Kawasi, kontaminasi kromium heksavalen (Cr6), zat kimia beracun dan karsinogenik, ditemukan di sungai yang digunakan masyarakat untuk minum, mandi, dan memancing.
Seruan untuk Pertambangan yang Bertanggung Jawab
Para peneliti dan aktivis lingkungan menyerukan agar perusahaan pertambangan menghindari pengembangan tambang baru di area yang memiliki 'karbon yang tidak dapat dipulihkan'. Mereka juga mendesak pemerintah dan industri untuk menerapkan praktik pertambangan yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial secara komprehensif.
Krista Shennum dari Climate Rights International menekankan bahwa pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru untuk mendukung operasi pemrosesan nikel dan penebangan hutan untuk pertambangan nikel bukanlah solusi iklim yang berkelanjutan.
Kasus pertambangan nikel di Indonesia menyoroti perlunya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait pertambangan. Perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal harus menjadi prioritas utama dalam pengembangan industri pertambangan nikel. Tanpa tindakan yang tepat, ekspansi pertambangan nikel berisiko merusak ekosistem yang berharga, mengancam kesehatan masyarakat, dan memperburuk perubahan iklim.