Evolusi Arsitektur Menteng: Dari Gaya Indis yang Seragam Hingga Keberagaman Desain Masa Kini
Jejak Arsitektur Kolonial di Menteng: Menelusuri Transformasi Gaya Rumah Gedong
Menteng, sebuah kawasan elit di Jakarta, dikenal dengan deretan rumah mewah berhalaman luas yang dikelilingi pagar tinggi. Keteraturan kawasan ini, dipenuhi taman dan pepohonan rindang, menciptakan suasana sejuk di tengah hiruk pikuk kota. Sejarah Menteng sebagai kawasan perumahan dimulai pada era kolonial Belanda, tepatnya sekitar tahun 1912. Arsitek PAJ Moojen dari NV de Bouwploeg menjadi perancang awal kawasan ini, yang kemudian disempurnakan oleh FJ Kubatz.
Namun, tahukah Anda bahwa arsitektur awal rumah-rumah di Menteng jauh berbeda dengan yang kita lihat saat ini? Sejarawan Asep Kambali menjelaskan bahwa pada masa awal pembangunan, rumah-rumah di Menteng mengusung gaya Indis atau Indische Empire, sebuah perpaduan antara gaya Eropa dan tropis. Gaya ini menekankan ventilasi yang baik dan keseragaman desain, dengan ciri khas batu bata hitam bergaris.
Gaya Indische Empire sendiri diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Daendels pada awal abad ke-19, sebagai pengganti gaya landhuizen dengan corak Neo-Klasik. Seiring waktu, gaya ini beradaptasi dengan kondisi geografis dan iklim setempat, menghasilkan ciri khas berupa beranda depan dan belakang yang luas, plafon dan atap tinggi, garis simetris, ruang utama yang diapit kamar-kamar, tembok tebal, dan penggunaan tegel marmer.
Selain gaya Indis, buku "Menteng 'Kota Taman' Pertama di Indonesia" karya Adolf Heuken mencatat keberadaan gaya arsitektur lain seperti art deco, gaya tradisional barat, Amsterdamse School, gaya vila atau bungalow, dan gaya modern.
Arsitektur rumah tinggal di Menteng juga dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran kavling:
- Groote stadsvilla (1.000 meter persegi atau lebih): Terletak di Jl. Teuku Umar, Jl. Imam Bonjol, dan Jl. Diponegoro.
- Middelgroote stadswoning (500-800 meter persegi): Terletak di Jl. Sam Ratulangi, Jl. H.A. Salim, dan Jl. Palem.
- Kleine woningen (500 meter persegi dengan luas rumah 70-90 meter persegi): Terletak di Jl. Kusumaatmaja dan Jl. Sumenep.
Ragam Tipe Rumah di Menteng: Menelusuri Keunikan Setiap Desain
Berikut ini adalah beberapa tipe rumah yang dapat ditemukan di Menteng:
-
Tipe Tosari: Rumah beratap perisai dengan teritis lebar, taman depan, teras dengan tembok rendah, kolom penyangga atap, dan pintu kayu jati dengan kaca timah. Tipe ini banyak ditemukan di Jl. Kusumaatmadja hingga Jl. Sumenep.
-
Tipe Madura: Rumah berukuran besar dengan paviliun di seberang rumah induk, plafon tinggi, pintu dan jendela kayu jati dengan kaca timah berwarna, dinding luar dengan tonjolan bata berprofil, dan dinding batu kali setinggi 80-90 cm. Tipe ini umumnya berada di Jl. Moh. Yamin dan Jl. S. Syahrir.
-
Rumah Bertingkat: Dibangun pada akhir 1930-an, dengan variasi desain sederhana hingga mewah. Rumah sederhana minim dekorasi, namun tetap menggunakan kaca patri. Rumah mewah dilengkapi balkon, teras, dan atap yang indah.
-
Tipe Vila: Rumah satu lantai dengan tampak indah, simetri, elemen dekoratif, halaman luas dengan jalan masuk setengah lingkaran, kebun luas, paviliun, dan bangunan tambahan.
-
Rumah dengan Bentuk Atap Khusus:
- Atap Curam: Kemiringan atap sekitar 60°, dengan ruang di bawah atap dimanfaatkan sebagai lantai atas dan jendela dormer.
- Atap Mansard: Memiliki garis tekukan horizontal, membentuk dua bidang dengan kemiringan berbeda. Seringkali menaungi teras luas dengan kolom-kolom bulat.
- Atap Pelana Dekoratif: Hiasan ukiran kayu pada sopi-sopi atau dinding segitiga, menunjukkan pengaruh Victorian Style.
-
Tipe Rumah Terinspirasi dari de Stijl: Atap berupa plat beton mendatar, dua lantai, dan garis horizontal yang kuat pada tampak bangunan.
Perubahan Fungsi Bangunan di Menteng: Antara Pelestarian dan Realitas Ekonomi
Sayangnya, Menteng saat ini telah mengalami banyak perubahan. Banyak bangunan tua yang beralih fungsi, salah satunya karena tingginya pajak bangunan. Asep Kambali menyayangkan hal ini, mengingat Menteng merupakan kawasan cagar budaya yang dilindungi undang-undang dan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 475 tahun 1993. Banyak bangunan tua yang dihancurkan dan diganti dengan ruko, karena ahli waris tidak mampu membayar pajak yang besar.