Vonis Ringan Kasus Pengeroyokan di Rejang Lebong Picu Kontroversi: Korban Lumpuh, Pelaku Hanya Bersihkan Masjid
Kasus pengeroyokan yang menyebabkan seorang pelajar di Rejang Lebong, Bengkulu, mengalami kelumpuhan telah memicu gelombang protes dan perdebatan publik setelah vonis yang dijatuhkan kepada salah satu pelaku dianggap terlalu ringan. DM, salah seorang terdakwa dalam kasus ini, hanya dijatuhi hukuman berupa kerja sosial membersihkan masjid selama 60 jam, sebuah putusan yang kontras dengan dampak serius yang dialami korban.
Reza (16), menjadi korban brutalitas pada tanggal 21 September 2024, ketika ia diserang oleh empat orang. Akibat kejadian tersebut, Reza mengalami luka tusuk parah yang menyebabkan kelumpuhan. Dua pelaku lainnya telah menyelesaikan masalah ini melalui jalur damai dengan keluarga korban, meninggalkan DM dan DI sebagai dua terdakwa yang harus menghadapi proses hukum.
Dalam persidangan, hakim tunggal Eka Kurnia Nengsih memutuskan bahwa DM harus melaksanakan kerja sosial selama maksimal tiga jam setiap hari dan wajib melapor setiap minggu selama satu bulan. Selain itu, DM juga dikenai pidana bersyarat, yang berarti ia harus menghindari pelanggaran hukum lainnya dalam jangka waktu tertentu. Keputusan ini sontak memicu amarah dan kekecewaan mendalam dari keluarga korban, yang merasa keadilan belum ditegakkan.
Ayah Reza, Rovi, mengungkapkan kekecewaannya dengan nada getir. Baginya, vonis tersebut sangat tidak adil mengingat penderitaan berat yang dialami putranya. Rovi dan keluarga terpaksa menjual rumah mereka untuk membiayai perawatan medis Reza yang mahal dan berkelanjutan.
Kuasa hukum keluarga korban, Ana Tasia Pase, telah menyatakan niatnya untuk mengajukan banding. Ia berpendapat bahwa putusan tersebut sangat tidak proporsional dengan tingkat kerusakan yang dialami korban. Langkah serupa juga diambil oleh Kepala Kejaksaan Negeri Rejang Lebong, Fransisco Tarigan, yang menilai bahwa vonis tersebut jauh dari rasa keadilan dan tidak mencerminkan dampak yang diderita korban.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya menuntut DM dengan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara serta pembayaran restitusi sebesar Rp 90 juta bersama terdakwa lainnya. Ketidaksesuaian antara tuntutan dan vonis menjadi dasar pengajuan banding oleh pihak kejaksaan. Sementara itu, terdakwa DI alias Dio masih menjalani proses hukum dengan ancaman hukuman penjara 4 tahun 6 bulan.
Kasus ini menyoroti kembali isu keadilan dalam sistem hukum Indonesia, terutama ketika menyangkut kasus-kasus kekerasan yang menyebabkan dampak fisik dan psikologis jangka panjang bagi korban. Keputusan pengadilan yang dinilai tidak sepadan dengan penderitaan korban sering kali menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan memicu tuntutan akan reformasi sistem hukum yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan korban.