Muzdalifah: Jejak Sejarah dari Era Pra-Islam hingga Ritus Haji Modern
Muzdalifah, sebuah kawasan yang terletak di antara Arafah dan Mina, memiliki signifikansi mendalam dalam sejarah dan ritual ibadah haji. Lebih dari sekadar tempat transit bagi jamaah haji setelah wukuf, Muzdalifah menyimpan warisan panjang yang membentang jauh sebelum kedatangan Islam.
Asal Usul Nama dan Sejarah
Sebelum dikenal dengan nama Muzdalifah, kawasan ini dikenal dengan nama Tsabir, diambil dari nama seorang tokoh suku Hudzail. Dataran tinggi ini terletak di atas Gunung Tsabir, salah satu dari empat gunung yang menjulang di wilayah Hijaz. Karena ketinggiannya, matahari terbit dan terbenam di Muzdalifah tampak lebih awal dibandingkan Arafah dan Makkah. Kondisi geografis ini pula yang menjadi salah satu alasan Rasulullah SAW memilih untuk melaksanakan salat jamak takhir Maghrib dan Isya saat mabit di Muzdalifah pada pelaksanaan haji Wada'.
Pada zaman pra-Islam, Muzdalifah menjadi tempat peristirahatan bagi para musafir yang hendak menuju Makkah. Mereka berlindung dari panas terik matahari dan mengumpulkan tenaga setelah melintasi padang pasir Arafah. Terutama saat malam hari, bermalam di Muzdalifah menjadi pilihan yang bijak untuk menghindari tersesat di antara celah-celah Gunung Tsabir yang jalannya berliku. Kisah pasukan gajah Raja Abrahah yang binasa di lembah Muhassir menjadi bukti betapa sulitnya medan di kawasan ini.
Oleh karena itu, orang-orang Arab zaman dahulu memilih untuk bermalam di Muzdalifah dan melanjutkan perjalanan setelah matahari terbit, seperti yang disebutkan dalam hadits dari Umar bin Khattab: "Asyriq Tsabir!" (Terangilah gunung Tsabir).
Transformasi Nama dan Makna dalam Islam
Nama Muzdalifah baru muncul pada masa Nabi Muhammad SAW. Secara bahasa, Muzdalifah berasal dari kata "zalafa" yang berarti "dekat". Dalam konteks ini, Muzdalifah dinamakan demikian karena lokasinya yang berdekatan dengan Arafah dan Mina, serta waktu matahari terbenam yang lebih awal. Dalam Al-Quran, konsep kedekatan ini juga tercermin dalam ayat "wa zulafan minal Lail" (QS. Hud: 114).
Selain Muzdalifah, tempat ini juga dikenal dengan nama Jam'u, yang berarti "berkumpul". Nama ini muncul karena Rasulullah SAW pernah melaksanakan salat Maghrib dan Isya secara jamak di tempat ini saat haji Wada'. Meskipun demikian, tradisi ini tidak selalu diikuti oleh jamaah haji pada masa khalifah Utsman bin Affan, yang memilih untuk tidak menjamak salat karena menganggap sebagian besar jamaah adalah penduduk Makkah (mukimin).
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Muzdalifah disebut Jam'u karena Nabi Adam dan Siti Hawa bertemu di lokasi ini, meskipun riwayat lain menyebutkan pertemuan tersebut terjadi di Jabal Rahmah di Arafah.
Muzdalifah juga disebut sebagai Masyaril Haram (QS. Al-Baqarah: 198), yang menandai titik awal menuju perbatasan Tanah Haram. Di tempat ini, jamaah haji dianjurkan untuk memperbanyak dzikir dan mengingat Allah SWT.
Relevansi Muzdalifah di Era Modern: Sebuah Diskursus
Di tengah modernisasi ibadah haji, muncul pertanyaan mengenai relevansi mabit di Muzdalifah. Di satu sisi, mabit di Muzdalifah seringkali menimbulkan kesulitan bagi jamaah haji, terutama dalam hal transportasi dan akomodasi. Hal ini berbeda dengan kondisi pada zaman Rasulullah SAW, di mana mabit di Muzdalifah justru bertujuan untuk menghindari kesulitan perjalanan langsung ke Mina.
Dalam konteks modern, dengan adanya transportasi modern, jamaah haji dapat langsung diantar ke Mina tanpa harus berhenti di Muzdalifah. Bahkan, turun di Muzdalifah justru dapat menimbulkan masalah baru. Wacana mengenai haji tanpa Muzdalifah ini perlu dipertimbangkan secara matang untuk mencari solusi terbaik bagi jamaah haji.
Para pemangku kebijakan, stakeholder, dan ulama perlu mengkaji lebih dalam mengenai problematika jamaah haji di Muzdalifah untuk menemukan solusi yang tepat demi kemaslahatan umat. Wallahu a'lam.