Kontroversi Tambang Nikel di Pulau Gag: Antara Pengecualian Hukum dan Kerusakan Lingkungan
markdown Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan klarifikasi terkait polemik aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya. Penjelasan ini muncul di tengah kekhawatiran para aktivis lingkungan mengenai potensi pelanggaran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil dengan luas kurang dari 2.000 kilometer persegi.
Undang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi ekosistem pulau-pulau kecil dari dampak negatif pertambangan, seperti sedimentasi dan kerusakan hutan. Kekhawatiran ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menegaskan larangan serupa.
Namun, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, menjelaskan bahwa PT Gag Nikel, perusahaan yang beroperasi di Pulau Gag, termasuk dalam daftar 13 Kontrak Karya (KK) yang mendapat pengecualian berdasarkan Undang-Undang Kehutanan terkait larangan aktivitas di hutan lindung. Menurut Tri, izin tambang yang telah diberikan kepada PT Gag Nikel tidak akan mengalami perubahan tata ruang berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Tri juga mengklaim bahwa luas lahan tambang nikel yang dibuka di Pulau Gag tidak terlalu besar, dan sebagian lahan bekas tambang telah direklamasi oleh anak perusahaan PT Antam Tbk. Ia menambahkan bahwa pemantauan dari udara tidak menunjukkan adanya sedimentasi di area pesisir, sehingga pemerintah menilai aktivitas tambang nikel di Pulau Gag tidak menimbulkan masalah yang signifikan. Menurut data, dari total 263 hektar lahan, 131 hektar telah direklamasi dan 59 hektar diantaranya dinilai berhasil.
Di sisi lain, Menteri Lingkungan Hidup (LH), Hanif Faisol Nurofiq, mengakui adanya pencemaran lingkungan akibat aktivitas tambang nikel di Pulau Gag, namun mengklaim bahwa dampaknya tidak terlalu serius. Hasil kajian lapangan menunjukkan luas bukaan lahan tambang mencapai 187,87 hektare. Hanif menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan tambang nikel oleh PT Gag Nikel relatif memenuhi kaidah-kaidah tata lingkungan, dan tingkat pencemaran yang terlihat secara visual tidak terlalu signifikan. Meski demikian, Hanif menekankan bahwa laporan tersebut bersifat visual dan memerlukan kajian lebih lanjut, mengingat adanya sedimentasi yang menutupi koral di perairan Raja Ampat.
Kementerian LH juga menyoroti beberapa hal penting terkait keberadaan tambang nikel di Pulau Gag. Pertama, kegiatan pertambangan PT Gag Nikel berada di pulau kecil, yang tidak diprioritaskan untuk kegiatan tambang berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dan perubahannya melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Kedua, Kementerian LH menekankan kerentanan ekosistem Raja Ampat terhadap kerusakan akibat eksplorasi tambang, dan mempertimbangkan untuk meninjau kembali persetujuan lingkungan yang telah diberikan, terutama jika teknologi penanganan dan kemampuan rehabilitasi tidak memadai. Hal ini menjadi pertimbangan serius untuk memastikan keberlanjutan lingkungan di kawasan Raja Ampat.