Reformasi Label Pangan: Upaya Mengatasi Krisis Diabetes dan Obesitas di Indonesia

Indonesia Bergelut dengan Ancaman Diabetes dan Obesitas: Perlukah Reformasi Label Pangan?

Kasus penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes dan obesitas terus meningkat di Indonesia, memicu kekhawatiran akan beban kesehatan di masa depan. Salah satu strategi pemerintah untuk menekan laju PTM adalah melalui pelabelan pangan, namun efektivitasnya masih dipertanyakan. Rendahnya literasi masyarakat terkait informasi nilai gizi pada kemasan produk menjadi tantangan utama.

Data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengungkap bahwa hanya sebagian kecil konsumen Indonesia yang benar-benar memperhatikan label pangan sebelum membeli. Hal ini mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan penerapan sistem pelabelan baru yang lebih efektif, seperti Nutri-Grade yang telah diterapkan di Singapura.

Wacana implementasi label pangan yang lebih informatif muncul seiring dengan meningkatnya konsumsi pangan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL). Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan prevalensi diabetes mencapai angka yang mengkhawatirkan, dengan sebagian besar kasus tidak terdeteksi. Indonesia kini menduduki peringkat kelima dunia dalam jumlah kasus diabetes, sebuah indikasi yang memerlukan tindakan segera.

Obesitas juga mengalami lonjakan signifikan dalam beberapa tahun terakhir, diperparah dengan konsumsi natrium yang melebihi rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Fakta-fakta ini semakin memperkuat urgensi untuk memperbaiki sistem pelabelan pangan agar lebih tegas dan edukatif.

Pakar kebijakan kesehatan global, Dicky Budiman, menekankan bahwa pelabelan yang efektif harus didukung oleh literasi kesehatan masyarakat yang memadai. Tanpa pemahaman yang baik, label seperti Nutri-Grade bisa disalahartikan. Ia juga menyoroti pentingnya penempatan label yang jelas di bagian depan kemasan serta pengawasan ketat untuk mencegah manipulasi informasi nutrisi oleh produsen.

Warning Label sebagai Alternatif

Dicky Budiman mengusulkan penerapan 'warning label' atau label peringatan yang secara eksplisit menandai produk tinggi GGL. Sistem ini dinilai lebih intuitif dan mudah dipahami, terutama bagi masyarakat dengan tingkat literasi rendah. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa industri makanan kemungkinan akan memberikan resistensi terhadap perubahan ini.

Resistensi industri dapat diatasi dengan memberikan insentif kepada produsen yang bersedia melakukan reformulasi produk. Selain itu, harmonisasi regulasi pangan di tingkat regional, khususnya di ASEAN, juga penting untuk menghindari konflik dalam perdagangan lintas batas.

Dicky juga mengingatkan tentang tantangan di wilayah perbatasan, di mana banyak produk kemasan dari luar negeri masuk tanpa mengikuti standar label Indonesia. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan di perbatasan untuk melindungi konsumen dan kedaulatan pangan.

Untuk memastikan keberhasilan reformasi label pangan, Dicky mengusulkan penerapan bertahap, dimulai dari produk dengan kandungan gula ekstrem. Langkah ini harus diiringi dengan kampanye edukasi dan intervensi struktural, seperti subsidi pangan sehat dan pengendalian impor pangan ultra-proses.

Logo 'Pilihan Lebih Sehat': Efektifkah?

Nida Adzilah Auliani dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menyoroti bahwa logo 'Pilihan Lebih Sehat' yang saat ini digunakan di Indonesia seringkali menyesatkan konsumen. Ia mencontohkan produk susu cokelat kemasan yang masih mengandung kadar gula tinggi meskipun memiliki logo tersebut.

Nida menilai ambang batas yang digunakan dalam label tersebut terlalu longgar, sehingga gagal memberikan informasi yang akurat dan mudah dicerna. Masyarakat mungkin menganggap suatu produk sehat, padahal sebenarnya mengandung gula tambahan yang tinggi.

Nutri-Level dan Warning Label: Arah Kebijakan ke Depan

BPOM RI mengakui bahwa logo 'Pilihan Lebih Sehat' kurang efektif dan tengah meninjau ulang kebijakan pelabelan gizi pada bagian depan kemasan (FOPNL). Berbagai riset menunjukkan bahwa penggunaan warna, simbol, dan teks interpretatif lebih disukai konsumen.

Format baru yang dipertimbangkan adalah Nutri-Level, yang menggunakan kode warna (hijau tua, hijau muda, kuning, dan merah) serta huruf (A, B, C, dan D) untuk mengklasifikasikan produk pangan berdasarkan tingkat GGL. Penerapan ini akan dilakukan secara bertahap, dimulai dari produk minuman siap konsumsi.

Kementerian Kesehatan RI juga sedang membahas wacana penerapan label peringatan (warning label) pada produk pangan siap saji. Studi terkait efektivitas sistem label peringatan ini telah dilakukan oleh berbagai lembaga, namun tantangan terbesar adalah pemahaman masyarakat terhadap sistem label tersebut.

Kisah Kenzi: Peringatan Nyata

Kisah Muhammad Kenzi Alfaro, seorang balita dengan berat badan berlebih akibat konsumsi pangan tinggi gula dan lemak, menjadi contoh nyata betapa pentingnya pelabelan pangan yang ketat dan mudah dipahami. Kasus ini menyoroti perlunya intervensi sistemik dalam pengendalian penyakit tidak menular dan perlindungan generasi masa depan dari risiko kesehatan kronis yang bisa dicegah.

Reformasi label pangan bukan hanya sekadar pilihan kebijakan, melainkan kebutuhan mendesak. Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap keputusan konsumsi didasarkan pada informasi yang transparan dan bertanggung jawab.