Limbah Tambang Nikel Cemari Perairan Raja Ampat: Investigasi KLHK Ungkap Pelanggaran Serius
Pencemaran Laut Akibat Jebolnya Kolam Limbah Tambang Nikel di Raja Ampat
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru-baru ini menemukan bukti pencemaran laut yang signifikan di Raja Ampat, Papua Barat, yang disebabkan oleh jebolnya kolam penampungan limbah (settling pond) milik sebuah perusahaan pertambangan nikel. Investigasi ini menyoroti potensi dampak negatif dari aktivitas pertambangan terhadap ekosistem laut yang rapuh di wilayah tersebut.
Kolam penampungan limbah, yang seharusnya berfungsi sebagai filter untuk mengendapkan lumpur, sedimen, dan partikel berbahaya lainnya dari air limbah pertambangan sebelum dibuang ke lingkungan, ternyata gagal berfungsi sebagaimana mestinya. Akibatnya, limbah berbahaya mencemari perairan sekitarnya, mengancam keanekaragaman hayati laut dan merusak ekosistem terumbu karang yang menjadi ciri khas Raja Ampat.
Menurut Menteri LHK, Hanif Faisol Nurofiq, perusahaan yang bertanggung jawab atas kejadian ini adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP). Temuan di lapangan menunjukkan bahwa PT ASP diduga kuat melakukan kegiatan pertambangan tanpa menerapkan praktik manajemen lingkungan yang memadai. Hal ini mengakibatkan pencemaran air laut dan menyebabkan kekeruhan tinggi di wilayah pantai yang terdampak.
KLHK menegaskan bahwa akan mengambil tindakan tegas terhadap PT ASP atas indikasi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Langkah-langkah penegakan hukum yang akan ditempuh meliputi proses pidana dan gugatan perdata.
Sebagai tindak lanjut dari investigasi tersebut, KLHK telah memasang papan pengawasan atau segel di lokasi tambang PT ASP. Tindakan ini bertujuan untuk menghentikan sementara kegiatan pertambangan dan mencegah pencemaran lebih lanjut.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, PT ASP beroperasi berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada awal tahun 2024 dan berlaku hingga tahun 2034. Perusahaan ini memiliki wilayah konsesi seluas 1.173 hektar yang terletak di Pulau Manuran. Selain itu, PT ASP juga diketahui mengantongi izin untuk melakukan kegiatan tambang di Pulau Waigeo, meskipun wilayah tersebut berstatus sebagai kawasan suaka alam.
Ironisnya, dokumen lingkungan PT ASP, yang diterbitkan oleh Bupati Raja Ampat, belum diterima oleh KLHK. Menteri LHK menyatakan bahwa pihaknya akan meminta dokumen tersebut untuk ditinjau ulang, mengingat telah terjadi pencemaran serius dan sistem pengelolaan lingkungan perusahaan belum memadai.
Selain PT ASP, KLHK juga mengindikasikan bahwa PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) berpotensi menghadapi tindakan hukum serupa. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menindak perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan lingkungan.
Pada saat yang sama dengan investigasi KLHK, Kementerian ESDM juga melakukan peninjauan ke Raja Ampat. Namun, berdasarkan tinjauan yang dilakukan di Pulau Gag, Kementerian ESDM menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya sedimen di lautan. Perbedaan temuan ini menimbulkan pertanyaan tentang metodologi investigasi yang digunakan dan perlunya koordinasi yang lebih baik antara berbagai instansi pemerintah dalam menangani isu lingkungan.
Kasus pencemaran laut di Raja Ampat ini menjadi pengingat penting tentang perlunya pengawasan yang ketat terhadap kegiatan pertambangan dan penerapan praktik manajemen lingkungan yang bertanggung jawab. Pemerintah dan seluruh pihak terkait harus bekerja sama untuk melindungi kelestarian lingkungan Raja Ampat dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.