KLH Bertindak Tegas: Aktivitas Tambang di Raja Ampat Diduga Cemari Lingkungan, Beberapa Perusahaan Disegel

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengambil langkah tegas terhadap dugaan pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Empat perusahaan tambang telah disegel dan dihentikan operasionalnya karena disinyalir menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan.

Keempat perusahaan yang dikenakan sanksi tersebut adalah:

  • PT Gag Nikel (PT GN) yang beroperasi di Pulau Gag.
  • PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP) yang beraktivitas di Pulau Manuran.
  • PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM) yang berlokasi di Pulau Kawei.
  • PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP) yang melakukan kegiatan di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menjelaskan bahwa penyegelan dilakukan setelah ditemukan indikasi kuat kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan nikel. Kondisi lingkungan di Pulau Manuran menjadi perhatian utama, di mana kegiatan penambangan nikel dinilai kurang hati-hati dan berpotensi menyebabkan pencemaran serius. KLH saat ini sedang melakukan pengambilan sampel di lokasi penambangan dan meminta keterangan ahli untuk mengukur kerugian dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan.

Proses penegakan hukum akan dilakukan secara bertahap, dimulai dengan pengumpulan bukti dan analisis mendalam untuk menentukan langkah selanjutnya, apakah akan mengarah pada penindakan pidana, perdata, atau sanksi administrasi. KLH memperkirakan proses ini akan memakan waktu sekitar dua bulan.

Menteri Hanif juga memerintahkan Bupati Raja Ampat untuk meninjau kembali persoalan lingkungan yang melibatkan PT ASP, mengingat dokumen perizinan perusahaan tersebut masih berada di tangan pemerintah daerah. Izin lingkungan PT ASP terancam dicabut karena operasionalnya menyebabkan pencemaran akibat jebolnya settling pond dan kegiatan di kawasan suaka alam. Hasil pengawasan juga menemukan adanya kegiatan tambang nikel di luar Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) seluas 5 hektare.

PT GN, yang beroperasi di Pulau Gag yang merupakan kawasan hutan lindung dan pulau kecil, juga akan dievaluasi izin lingkungannya. Meskipun PT GN merupakan salah satu dari 13 kontrak karya yang diperbolehkan menambang dengan pola terbuka di hutan lindung berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, KLH tetap memerintahkan pemulihan atas dampak ekologis yang ditimbulkan.

PT KSM, yang beroperasi di Pulau Kawe yang termasuk kawasan hutan produksi, juga akan ditinjau kembali izin lingkungannya dan diproses hukum atas pelanggaran kehutanan karena ditemukan kegiatan di luar izin kawasan.

Sementara itu, PT MRP melakukan eksplorasi di Pulau Manyaifun dan Batang Pele tanpa dokumen lingkungan dan tanpa PPKH. Ditemukan kegiatan eksplorasi di 10 titik dalam kawasan hutan tanpa PPKH, yang berpotensi dikenakan penegakan hukum pidana lingkungan hidup.

Isu pertambangan nikel di Raja Ampat menjadi sorotan setelah aksi protes yang dilakukan oleh aktivis Greenpeace Indonesia dan Raja Ampat dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025. Mereka menyuarakan kekhawatiran tentang dampak ekspansi tambang di tanah Papua, termasuk pembabatan hutan dan sedimentasi yang merusak ekosistem perairan Raja Ampat. Greenpeace mencatat bahwa eksploitasi nikel di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami, serta menyebabkan limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir.