Kerusakan Hutan di Tiga DAS Picu Banjir Bandang: Ancaman Bagi Jabodetabek
Kerusakan Hutan di Tiga DAS Picu Banjir Bandang: Ancaman Bagi Jabodetabek
Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkapkan data mengejutkan terkait kerusakan hutan di tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) vital di Jawa Barat dan sekitarnya. Selama periode 2017 hingga 2023, tercatat kerusakan hutan seluas kurang lebih 2.300 hektare di DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane. Kondisi ini, menurut FWI, telah memicu peningkatan risiko banjir bandang yang berdampak luas pada wilayah Jabodetabek dan sekitarnya.
Analisis FWI menunjukkan gambaran yang memprihatinkan. Sisa hutan di ketiga DAS tersebut jauh di bawah ambang batas aman. DAS Ciliwung hanya memiliki 14 persen tutupan hutan, DAS Kali Bekasi lebih kritis lagi dengan hanya 4 persen, sementara DAS Cisadane berada pada angka 21 persen. Padahal, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas mengatur bahwa minimal 30 persen luas DAS harus berupa kawasan hutan. Defisit tutupan hutan yang signifikan ini mengakibatkan hilangnya fungsi vital hutan sebagai penyangga kehidupan dan pengendali banjir.
Pengkampanye Hutan FWI, Tsabit Khairul Auni, menjelaskan dampak serius dari kerusakan hutan ini. "Keberadaan hutan sangat penting untuk menahan air hujan agar tidak langsung mengalir deras ke sungai," ujarnya. Alih fungsi lahan yang masif, terutama konversi hutan menjadi area terbangun seperti vila, objek wisata, permukiman, dan infrastruktur jalan, semakin memperparah situasi. Air hujan yang seharusnya terserap oleh tanah, kini langsung mengalir sebagai run-off, meningkatkan volume air di sungai dan memicu banjir di sejumlah wilayah, termasuk kawasan Puncak Bogor, Jakarta, dan Bekasi.
Tsabit menekankan, berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap air akibat kerusakan hutan menjadi faktor utama penyebab peningkatan risiko banjir. Kondisi ini diperburuk oleh pembangunan infrastruktur yang meluas, yang semakin mengurangi daya serap air tanah. Lebih lanjut, Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga, menambahkan bahwa Jabodetabek sangat bergantung pada ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupan. Namun, realitasnya, hutan seringkali dilihat sebagai komoditas, bukan sebagai aset lingkungan yang vital.
Anggi menyoroti kebijakan pemerintah yang dianggap kontraproduktif. Kementerian Kehutanan telah menetapkan sekitar 23.000 hektare hutan di tiga DAS tersebut sebagai kawasan hutan produksi. "Kebijakan ini, alih-alih melindungi hutan, justru mendorong pengrusakannya," tegas Anggi. Fokus pada hasil hutan kayu, mengabaikan jasa lingkungan yang dihasilkan oleh hutan, seperti penyerapan air dan pencegahan banjir. Hal ini menunjukkan adanya celah dalam pengelolaan hutan yang harus segera dibenahi. Anggi juga menjelaskan bahwa UU Kehutanan sendiri membagi fungsi hutan menjadi tiga: lindung, produksi, dan konservasi. Namun, dalam praktiknya, keseimbangan ketiga fungsi tersebut belum terwujud secara optimal.
Kesimpulannya, kerusakan hutan di tiga DAS ini bukanlah sekadar masalah lingkungan, melainkan ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat Jabodetabek. Perlu adanya langkah konkret dan terintegrasi dari pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan, serta meninjau ulang kebijakan yang dianggap telah berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan ini. Perlu ditekankan bahwa perlindungan dan pelestarian hutan bukanlah hanya tanggung jawab pemerintah saja, melainkan tanggung jawab bersama untuk generasi mendatang.