Kontroversi Izin Tambang di Kawasan Hutan: PT Gag Nikel dan 12 Perusahaan Lainnya Mendapatkan Hak Eksklusif Sejak Era Megawati

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyoroti izin penambangan yang diberikan kepada PT Gag Nikel (PT GN) di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, sebagai bagian dari 13 perusahaan yang mendapatkan pengecualian untuk beroperasi di kawasan hutan. Hal ini memicu diskusi mengenai legalitas dan dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan di wilayah yang seharusnya dilindungi.

Menurut keterangan Menteri Lingkungan Hidup, meskipun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas melarang kegiatan pertambangan di hutan lindung, PT Gag Nikel dan 12 perusahaan lainnya memperoleh izin berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 yang berkaitan dengan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2004. Lebih lanjut, dasar hukum ini diperkuat dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 12 Mei 2004. Keppres ini secara khusus memberikan izin kepada 13 perusahaan pertambangan untuk melanjutkan kegiatan mereka di kawasan hutan hingga masa berlaku izin mereka berakhir. Izin ini diberikan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Keppres Nomor 41 Tahun 2004 memuat tiga poin utama:

  • Poin Pertama: Menetapkan 13 izin atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini, untuk melanjutkan kegiatannya di kawasan hutan sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.
  • Poin Kedua: Pelaksanaan usaha bagi 13 perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan lindung didasarkan pada izin pinjam pakai yang ketentuannya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan.
  • Poin Ketiga: Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Berikut adalah daftar 13 perusahaan yang diberikan hak khusus untuk melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan berdasarkan Keppres tersebut:

  • PT Freeport Indonesia (Mimika, Papua): Tahap produksi (tembaga, emas, dmp) - 10.000 hektar; Tahap eksplorasi (tembaga, emas, dmp) - 202.950 hektar.
  • PT Karimun Granit (Kepulauan Riau): Tahap produksi (granit) - 2.761 hektar.
  • PT Inco Tbk (Sulsel, Sulteng, Sultra): Tahap produksi (nikel) - 218.528 hektar.
  • PT Indominco Mandiri (Kaltim): Tahap produksi (batubara) - 25.121 hektar.
  • PT Aneka Tambang (Maluku Utara): Tahap produksi (nikel) - 39.040 hektar.
  • PT Natarang Mining (Lampung): Tahap konstruksi (emas dmp) - 12.790 hektar.
  • PT Nusa Halmahera Minerals (Maluku Utara): Tahap produksi, konstruksi, dan eksplorasi (emas dmp) - 29.622 hektar.
  • PT Pelsart Tambang Kencana (Kalsel): Tahap eksplorasi (emas dmp) - 201.000 hektar.
  • PT Interex Sacra Raya (Kaltim dan Kalsel): Tahap studi kelayakan (batubara) - 15.650 hektar.
  • PT Weda Bay Nickel (Maluku Utara): Tahap eksplorasi (nikel) - 76.280 hektar.
  • PT Gag Nikel (Papua): Tahap eksplorasi (nikel) - 13.136 hektar.
  • PT Sorikmas Mining (Sumut): Tahap eksplorasi (emas dmp) - 66.200 hektar.
  • PT Aneka Tambang (Sulawesi Tenggara): Tahap eksplorasi (nikel) - 14.570 hektar.

Izin-izin ini, yang diberikan di bawah payung hukum yang kontroversial, terus menjadi sorotan karena potensi dampaknya terhadap lingkungan dan keberlanjutan kawasan hutan di Indonesia.