Tangki Air Raksasa di Depok Menuai Kontroversi: Kemiringan dan Minimnya Sosialisasi Picu Penolakan Warga

Tangki Air Raksasa di Depok Menuai Kontroversi: Kemiringan dan Minimnya Sosialisasi Picu Penolakan Warga

Wakil Wali Kota Depok, Chandra Rahmansyah, melakukan peninjauan langsung terhadap pembangunan sebuah tangki air berkapasitas 10 juta liter di kawasan Mekar Jaya, Sukmajaya, pada Selasa (11/3/2025). Kunjungan ini menyusul munculnya protes keras dari warga setempat yang menolak keberadaan infrastruktur tersebut. Sebelum meninjau tangki air raksasa yang menjadi pusat perdebatan, Chandra terlebih dahulu mengunjungi PT. Tirta Asasta, pengelola proyek, guna memahami proses pengolahan air yang dilakukan perusahaan tersebut.

Di lokasi proyek, Chandra disambut oleh aksi unjuk rasa warga yang mengenakan rompi dan helm proyek. Keluhan utama warga tertuju pada kemiringan tangki air dan minimnya sosialisasi terkait pembangunan proyek yang telah berjalan sejak tahun 2021. Ketua RW 26 Mekar Jaya, Catur Banuaji, menyatakan kekecewaannya atas kurangnya transparansi dari PT Tirta Asasta. "Proyek ini sudah berlangsung sejak 2021, namun sejak awal pembangunannya tidak transparan. Tiba-tiba bangunan ini sudah berdiri tanpa ada sosialisasi kepada warga," ujar Catur kepada awak media.

Lebih jauh, Catur mengungkapkan kekhawatiran warga akan dampak negatif pembangunan tangki air tersebut. Ia menuding proyek ini telah mengakibatkan longsor dan genangan lumpur yang merendam rumah-rumah warga. "Pondasi sudah longsor, tanahnya bocor, dan tiba-tiba terjadi banjir lumpur," ungkapnya. Ketidakjelasan perencanaan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan membuat warga semakin menentang proyek ini. "Sikap kami tetap sama, kami meminta relokasi tangki air karena lokasinya tidak layak di tengah permukiman. Kami menolak segala aktivitas di atas tangki air tersebut," tegas Catur.

Menanggapi tuntutan warga, Chandra mengakui adanya kemiringan pada tangki air sekitar 25 sentimeter, berdasarkan hasil kajian Lembaga Teknologi Universitas Indonesia (Lemtek UI). Ia menjelaskan bahwa kemiringan dan penurunan pondasi tersebut diduga disebabkan oleh kondisi tanah yang kurang padat, mengingat lokasi tersebut sebelumnya merupakan lahan urukan dan tempat pembuangan sampah. "Memang kata warga, ini bekas tanah urukan, dulu pernah dijadikan tempat pembuangan sampah, jadi bukan tanah yang solid. Kami akan memeriksa semua aspek ini," jelas Chandra.

Pemerintah Kota Depok berkomitmen untuk menampung semua keluhan warga dan mencari solusi yang mengakomodasi kepentingan semua pihak. "Kita harus meyakini niat PDAM untuk melayani kebutuhan air masyarakat, namun pelayanan tersebut jangan sampai menimbulkan masalah baru. Kita akan mencari jalan tengah," tegas Chandra. Lebih lanjut, Pemkot Depok berjanji untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap proyek pembangunan tangki air tersebut, termasuk menyelidiki dugaan pelanggaran prosedur dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Hasil investigasi ini akan menjadi dasar bagi langkah-langkah selanjutnya untuk menyelesaikan polemik yang terjadi. Pemkot juga akan mempertimbangkan solusi alternatif, termasuk kemungkinan relokasi tangki air, demi menjaga keselamatan dan kesejahteraan warga.

Berikut beberapa poin penting yang menjadi fokus permasalahan:

  • Minimnya sosialisasi: Warga mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan dan sosialisasi proyek pembangunan tangki air. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan dan protes dari masyarakat.
  • Kemiringan tangki air: Hasil kajian Lemtek UI menunjukkan adanya kemiringan tangki air sekitar 25 sentimeter, menimbulkan kekhawatiran akan risiko keselamatan.
  • Kerusakan lingkungan: Pembangunan tangki air diduga menyebabkan longsor dan genangan lumpur yang merendam rumah-rumah warga.
  • Ketidaktransparanan: Warga menilai PT Tirta Asasta kurang transparan dalam menjalankan proyek pembangunan tangki air.
  • Tuntutan relokasi: Warga menuntut agar tangki air direlokasi dari lokasi tersebut karena dianggap membahayakan dan mengganggu lingkungan permukiman.