DPR RI Dorong Pemerintah Tutup Permanen Tambang Nikel Raja Ampat Demi Lestarikan Pariwisata dan Lingkungan
Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas dengan menutup secara permanen aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Seruan ini muncul sebagai respons terhadap dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan di kawasan tersebut. Daniel Johan menekankan bahwa pemerintah tidak boleh hanya berhenti pada tahap evaluasi perusahaan, tetapi harus mengambil langkah konkret untuk melindungi Raja Ampat.
"Pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah langkah krusial untuk menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Raja Ampat, baik yang sedang berlangsung maupun yang direncanakan di masa depan. Raja Ampat adalah ikon pariwisata Indonesia yang mendunia, dan keberadaannya harus dilindungi dari ancaman kerusakan lingkungan," tegas Daniel Johan.
Menurutnya, meskipun aktivitas pertambangan dapat menghasilkan keuntungan finansial bagi pengusaha dan pendapatan pajak bagi negara, dampak jangka panjangnya adalah kerusakan alam yang sulit, bahkan tidak mungkin, untuk dipulihkan. Daniel Johan menekankan bahwa negara harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan di atas pertimbangan investasi semata.
Daniel Johan juga menyoroti penerbitan IUP di kawasan Raja Ampat oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Ia menilai bahwa ini adalah momentum bagi Bahlil untuk menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat dan lingkungan dengan mencabut IUP tersebut.
"Menteri ESDM memiliki kesempatan untuk mencabut IUP dan membuktikan komitmennya terhadap perlindungan masyarakat dan lingkungan. Kami mendesak Menteri ESDM untuk mengambil tindakan permanen, bukan hanya pembekuan sementara," ungkap Daniel Johan.
Komisi IV DPR RI meyakini bahwa masyarakat setempat menolak aktivitas pertambangan nikel karena dampak negatifnya terhadap lingkungan. Kerusakan terumbu karang, pencemaran air, dan sedimentasi akan menyebabkan penurunan populasi ikan dan hasil tangkapan nelayan, yang pada akhirnya akan menghancurkan sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat.
"Kita menyaksikan perusakan sistematis terhadap sumber pangan laut Indonesia. Jika ini terus dibiarkan, kita akan kehilangan sumber protein utama bagi masyarakat Indonesia Timur dan wilayah pesisir secara luas," lanjut Daniel Johan.
Daniel Johan menjelaskan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan landasan hukum yang lebih luas dalam menangani masalah pertambangan di Raja Ampat. Menurutnya, pemerintah tidak dapat hanya berpedoman pada Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2004, karena aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil di Raja Ampat bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
"UU Nomor 1 Tahun 2014 melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil seperti di Raja Ampat. Ini berarti bahwa penambangan nikel di sana tidak lagi dapat dianggap legal dan jelas melanggar undang-undang," pungkas Daniel Johan.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq menyatakan bahwa PT Gag Nikel (PT GN) memiliki hak khusus untuk melakukan eksploitasi tambang nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Hanif menjelaskan bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan melarang aktivitas pertambangan di hutan lindung, PT Gag Nikel dan 12 perusahaan lainnya memperoleh izin berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2004, yang mengatur mengenai penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2004.
Selain itu, seluruh wilayah di Kabupaten Raja Ampat merupakan kawasan hutan, tetapi PT GN telah memenuhi persyaratan perizinan yang berlaku. "Dengan pengecualian yang diberikan kepada 13 perusahaan ini, termasuk PT GN, kegiatan penambangan dapat dilakukan secara legal," kata Hanif.
UU Nomor 19 Tahun 2004 yang mengatur mengenai penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2004 diperkuat melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang berada di kawasan hutan. Keppres tersebut menetapkan bahwa 13 izin atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dapat melanjutkan kegiatannya di kawasan hutan sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Pelaksanaan usaha bagi 13 perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan lindung didasarkan pada izin pinjam pakai yang ketentuannya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan.