Pancasila: Antara Idealitas dan Realitas dalam Praktik Kenegaraan

Pancasila: Pilar Negara di Tengah Tantangan Zaman

Diskursus mengenai fondasi negara dan hubungan agama dengan negara telah lama usai. Konsensus ini terukir dalam momen penting seperti sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945, Sidang Konstituante antara 1955-1959, serta pada awal reformasi saat amandemen konstitusi tahun 1999. Pancasila berdiri kokoh sebagai philosophische grondslag, fondasi filosofis negara.

Tantangan utama saat ini terletak pada implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Ada dua aspek penting untuk menjaga relevansi Pancasila. Pertama, internalisasi Pancasila sebagai panduan dan tolok ukur dalam pengelolaan negara oleh seluruh lembaga negara. Kedua, memastikan setiap warga negara menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan pribadi dan publik.

Relevansi Pancasila di Era Modern

Pancasila secara praktis relevan bagi semua generasi, termasuk Generasi Z dan Alfa. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila tidak boleh sekadar menjadi jargon atau materi sosialisasi. Menjaga relevansi Pancasila dalam berbagai situasi adalah tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan.

Pancasila secara praktis menggerakkan dan mengarahkan bangsa ini menuju cita-cita para pendiri bangsa. Selama delapan dekade kemerdekaan Indonesia, Pancasila telah ditempatkan sebagai standar etika dalam penyelenggaraan negara. Setiap langkah dan tindakan negara harus mencerminkan semangat Pancasila. Manifestasi dari ungkapan bahwa Pancasila adalah "sumber dari segala sumber hukum" adalah bahwa setiap norma dalam peraturan perundang-undangan harus memiliki ruh Pancasila.

Inilah landasan filosofis yang menjadi penentu baik buruknya peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah agar setiap norma yang mengikat dan mengatur publik tidak menyimpang dari filosofi negara.

Paradoks Penerapan Pancasila

Namun, terdapat paradoks ketika kita melihat fakta di lapangan. Data permohonan uji materi dan uji formil di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap konstitusionalitas undang-undang menunjukkan bahwa tidak sedikit norma dalam undang-undang dibatalkan oleh MK karena bertentangan dengan konstitusi. Selama tahun 2024, dari 158 perkara pengujian undang-undang yang diajukan ke MK, 18 perkara dikabulkan. Hingga Mei 2025, dari 77 perkara yang diajukan, 14 permohonan dikabulkan.

Masalah krusial lainnya adalah korupsi di kalangan penyelenggara negara. Penindakan kasus korupsi oleh Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi tata kelola pemerintahan yang masih jauh dari semangat Pancasila. Praktik korupsi oleh penyelenggara negara di berbagai cabang kekuasaan jelas melanggar nilai-nilai Pancasila.

Meskipun Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia versi Transparency International (TI) menunjukkan peningkatan, korupsi tetap menjadi penghalang dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, transaksi aliran dana kasus dugaan korupsi pada 2024 mencapai hingga Rp 984 triliun. Hal ini menunjukkan paradoks yang ekstrem: Pancasila ditempatkan sebagai norma dasar negara, namun praktik penyelenggaraan negara seringkali bertentangan dengan Pancasila.

Dalam konteks ini, Pancasila tampak tidak relevan dan tidak operasional bagi penyelenggara negara yang melanggar hukum. Padahal, Pancasila dapat dikualifikasi sebagai presuposisi (presupposed) yang menurut Hans Kelsen (1967) merupakan as the last and highest, kedudukannya melampaui individu, yang tidak diciptakan oleh otoritas yang kewenangannya membutuhkan norma lainnya. Dalam catatan Amiroeddin Sjarief (1997), Pancasila disebut sebagai grundorm atau upsrungnorm (asal dan asli) yang menjadi sumber pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum masyarakat.

Menjadikan Pancasila Relevan dan Konkret

Tantangan kebangsaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan saat ini dapat dijawab dengan Pancasila sebagai ideologi negara yang diwujudkan dalam kebijakan hukum (legal policy) maupun tindakan administratif (administrative action). Nilai-nilai Pancasila dikonkretisasi dalam tindakan penyelenggara negara yang berorientasi pada prosedur yang tertib dan kebijakan yang berorientasi pada kebaikan warga.

Langkah ini adalah bagian nyata untuk menjadikan Pancasila relevan dalam menjawab persoalan aktual di masyarakat. Penyelenggara negara harus menunjukkan keteladanan yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila. Keteladanan para pemimpin yang menunjukkan sikap Pancasilais adalah kampanye paling efektif untuk menjadi teladan bagi yang lain. Sikap Pancasilais adalah sikap taat konstitusi, tidak korupsi, melayani warga sepenuh hati, dan tindakan lain yang berorientasi pada kebaikan bersama.