Perubahan Metodologi Bank Dunia Ungkap Lonjakan Signifikan Angka Kemiskinan di Indonesia

Bank Dunia telah merevisi standar pengukuran kemiskinan global, yang berdampak langsung pada perhitungan angka kemiskinan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pembaruan ini, yang mengadopsi Purchasing Power Parities (PPP) 2021 sebagai pengganti PPP 2017, menunjukkan peningkatan substansial dalam jumlah penduduk yang dikategorikan sebagai miskin.

Perubahan metodologi ini didasarkan pada pembaruan data dan penyesuaian terhadap daya beli masyarakat di berbagai negara. PPP sendiri merupakan metode konversi yang membandingkan harga barang dan jasa yang sama di berbagai negara setelah disesuaikan dengan nilai tukar. Namun, nilai dolar AS yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini, melainkan paritas daya beli, sehingga memberikan gambaran yang lebih akurat tentang biaya hidup riil di masing-masing negara.

Dampak Global dan Regional

Secara global, adopsi PPP 2021 menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam angka kemiskinan. Diperkirakan jumlah penduduk miskin di seluruh dunia mencapai 838 juta jiwa atau 10,5 persen dari populasi global. Sebagai perbandingan, dengan menggunakan perhitungan PPP 2017 pada September 2024, jumlah penduduk miskin tercatat 134 juta orang atau 27,3 persen. Peningkatan ini mencerminkan perbedaan metodologi dan data yang digunakan dalam perhitungan.

Di kawasan Asia Timur dan Pasifik, perubahan ini juga berdampak signifikan. Pada September 2024, jumlah penduduk miskin di wilayah ini tercatat 20,3 juta orang atau 1 persen dari populasi. Namun, dengan menggunakan PPP 2021 pada Juni 2025, angka ini melonjak menjadi 54 juta orang atau 2,5 persen dari populasi. Kenaikan ini menunjukkan bahwa perubahan metodologi Bank Dunia memiliki implikasi yang luas dan signifikan terhadap pengukuran kemiskinan di berbagai wilayah.

Implikasi bagi Indonesia

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia mencapai 285,1 juta jiwa pada pertengahan tahun 2024. Dengan mengacu pada perhitungan PPP 2021, diperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 68,25 persen dari total penduduk pada tahun 2024, atau sekitar 194,67 juta jiwa. Angka ini meningkat dibandingkan dengan perhitungan menggunakan PPP 2017, yang menunjukkan angka kemiskinan sebesar 60,25 persen dari total penduduk Indonesia, atau sekitar 171,74 juta jiwa.

Indonesia, dengan pendapatan nasional bruto (GNI) sebesar 4.810 dolar AS pada tahun 2023, termasuk dalam kategori negara berpendapatan menengah atas menurut Bank Dunia. Oleh karena itu, penghitungan penduduk miskin di Indonesia mengikuti standar yang berlaku untuk negara-negara dengan kategori pendapatan ini. Standar garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas meningkat dari 6,85 dolar AS menjadi 8,30 dolar AS per orang per hari.

Perbandingan dengan Data BPS

Perubahan perhitungan yang dilakukan oleh Bank Dunia memperlebar kesenjangan antara angka kemiskinan yang dihitung oleh Bank Dunia dan BPS. Data resmi dari BPS menunjukkan tingkat kemiskinan di Indonesia pada September 2024 sebesar 8,57 persen, atau sekitar 24,06 juta jiwa. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan metodologi yang digunakan oleh kedua lembaga tersebut.

BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN) dalam mengukur kemiskinan. Metode ini menghitung jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar ini, yang didasarkan pada data Susenas yang mengumpulkan informasi tentang pengeluaran dan pola konsumsi masyarakat.

BPS mengklaim bahwa garis kemiskinan yang mereka hitung mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Penghitungan dan rilis angka garis kemiskinan dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan. Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat sebesar Rp 595.242 per bulan. Namun, perlu dicatat bahwa konsumsi di sini terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per orang. Dengan rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota, garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp 2.803.590 per bulan.

Perbedaan garis kemiskinan antar provinsi mencerminkan perbedaan tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di setiap daerah. Sebagai contoh, garis kemiskinan rumah tangga di DKI Jakarta mencapai Rp 4.238.886, di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar Rp 3.102.215, dan di Lampung sebesar Rp 2.821.375.