Polemik Kasino: Antara Potensi Pendapatan Negara dan Risiko Kerusakan Sosial

Kontroversi Legalisasi Kasino di Indonesia: Dilema Ekonomi dan Moral

Wacana mengenai legalisasi kasino kembali mencuat, memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Diskursus ini bermula dari pernyataan seorang anggota DPR yang menyoroti langkah Uni Emirat Arab (UEA) dalam membuka diri terhadap industri kasino sebagai upaya meningkatkan pendapatan negara. Keputusan UEA ini seolah menjadi pemantik untuk kembali mempertimbangkan apakah Indonesia, yang bersama Brunei Darussalam menjadi dua negara di ASEAN yang masih menutup pintu bagi perjudian, perlu mengubah arah kebijakannya.

Potensi Keuntungan Ekonomi vs. Dampak Sosial

Legalisasi kasino dipandang sebagai sumber pendapatan potensial yang signifikan bagi negara. Negara-negara yang telah lebih dulu melegalkan dan mengatur industri perjudian, seperti Singapura, Makau, dan Malaysia, telah merasakan manfaatnya dalam bentuk peningkatan pendapatan fiskal. Singapura, melalui dua kasino besar seperti Marina Bay Sands dan Resorts World Sentosa, berhasil mengumpulkan lebih dari satu miliar dolar Singapura per tahun melalui pajak. Kontribusi ekonomi dari industri kasino di Singapura mencakup peningkatan PDB, penciptaan lapangan kerja di sektor pariwisata, dan peningkatan investasi asing langsung (FDI).

Namun, adopsi model Singapura secara mentah-mentah oleh Indonesia bukan tanpa risiko. Singapura memiliki sistem regulasi yang kuat, kepatuhan hukum yang tinggi, dan kontrol sosial yang ketat. Sebaliknya, Indonesia masih bergelut dengan masalah penegakan hukum, pengawasan birokrasi yang lemah, dan kerentanan terhadap korupsi. Legalisasi kasino tanpa persiapan sistemik yang matang berpotensi memperbesar risiko dan bukan memberikan manfaat yang diharapkan.

Argumen Pro dan Kontra

Pihak yang mendukung legalisasi berpendapat bahwa pelarangan total terhadap perjudian tidak efektif. Praktik perjudian ilegal, khususnya melalui platform online, tetap marak di Indonesia. Data dari Kominfo menunjukkan bahwa ratusan ribu situs judi online diakses dari Indonesia setiap tahunnya. Legalisasi dianggap sebagai solusi untuk menarik industri ini ke dalam koridor hukum yang jelas, di mana ia dapat diatur, diawasi, dan dikenai pajak. Dengan demikian, negara dapat memperoleh pendapatan, dan masyarakat terlindungi dari praktik eksploitatif yang seringkali menyertai perjudian ilegal. Selain itu, legalisasi juga dipercaya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat sektor pariwisata. Pembatasan wilayah (zoning), seperti hanya memperbolehkan kasino di daerah pariwisata terpencil atau pulau-pulau khusus, dianggap dapat meminimalkan dampak negatif sosial.

Di sisi lain, kelompok masyarakat sipil, tokoh agama, dan akademisi secara keras menentang legalisasi kasino. Mereka berpendapat bahwa hal itu bertentangan dengan nilai moral bangsa dan prinsip Pancasila. Judi bukan hanya aktivitas ekonomi, tetapi juga terkait erat dengan masalah sosial seperti kecanduan, utang, kriminalitas, dan kehancuran rumah tangga. WHO telah menyatakan bahwa negara-negara dengan akses luas terhadap perjudian mengalami peningkatan masalah kesehatan mental dan kasus bunuh diri terkait kecanduan judi. Di tengah kondisi sosial Indonesia yang rentan, maraknya pinjaman online ilegal, meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, dan rendahnya literasi keuangan, legalisasi kasino justru dapat menjadi "bom waktu". Negara dapat dituduh mengambil keuntungan dari kerugian rakyat, dan muncul kekhawatiran bahwa legalisasi ini akan dimanfaatkan oleh elite untuk pencucian uang, manipulasi politik, dan praktik rente.

Opsi Legalisasi Terbatas dan Tantangan Implementasi

Beberapa pihak menawarkan solusi tengah, yaitu melegalkan kasino dalam zona terbatas dan eksklusif, melarang warga negara Indonesia bermain, dan membentuk otoritas khusus untuk mengawasi aktivitas perjudian. Model ini telah diterapkan di beberapa negara, seperti Jepang yang hanya melegalkan kasino dalam bentuk "resor terpadu" di daerah tertentu dengan pembatasan ketat bagi penduduk lokal, dan Korea Selatan yang hanya mengizinkan satu kasino untuk warganya. Namun, bahkan dengan kontrol yang ketat, ketergantungan dan kecanduan masih sulit diatasi.

Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah apakah Indonesia benar-benar siap untuk melegalkan kasino. Regulasi dan lembaga pengawas hanya akan efektif jika dijalankan oleh sistem yang bersih dan transparan. Tanpa itu, legalisasi justru akan membuka celah yang lebih besar bagi kejahatan terorganisir, perburuan rente, dan pembajakan hukum.

Legalisasi kasino bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga tentang arah moral dan peradaban bangsa. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi negara, wacana legalisasi kasino tampak seperti solusi instan yang justru memperparah luka sosial. Jika negara ingin memerangi perjudian ilegal, cara terbaik adalah memperkuat hukum, edukasi, dan intervensi sosial. Membangun masyarakat yang berdaya bukan dengan menyediakan meja judi, tetapi dengan membuka akses pendidikan dan peluang ekonomi yang adil.