Eksploitasi Nikel di Raja Ampat Ancam Kelestarian Lingkungan Pulau-Pulau Kecil

Rencana dan aktivitas penambangan nikel di kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya, menuai kekhawatiran serius terkait potensi kerusakan lingkungan yang lebih besar, terutama di pulau-pulau kecil yang memiliki ekosistem yang sangat rentan.

Mahawan Karuniasa, seorang ahli dari Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI), menyoroti bahwa kegiatan penambangan nikel, yang melibatkan pembukaan lahan secara signifikan, dapat memicu dampak yang lebih merusak dibandingkan dengan aktivitas serupa di pulau-pulau yang lebih besar. Ia menjelaskan bahwa pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat memiliki ekosistem yang sangat sensitif dan rentan terhadap perubahan.

"Pembukaan lahan untuk penambangan akan menghancurkan ekosistem hutan yang ada di atasnya. Dari pengamatan peta, terlihat bahwa area seluas 5 hingga 10 kilometer persegi telah berubah warna menjadi coklat. Dampaknya jelas, ekosistem hutan hilang seiring dengan pembukaan lahan," ujar Mahawan.

Konsekuensi dari hilangnya hutan di pulau-pulau kecil adalah ancaman terhadap keanekaragaman hayati, termasuk flora dan fauna endemik. Hewan-hewan yang kehilangan habitatnya akan terpaksa mencari tempat tinggal baru di pulau lain, atau bahkan menghadapi kematian. Selain itu, tumbuhan-tumbuhan spesifik yang hanya ditemukan di pulau tersebut juga berisiko punah.

Pembukaan lahan juga berkontribusi pada pencemaran air. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan menyebabkan erosi dan sedimentasi, yaitu pengendapan logam berat di dalam air. Limbah logam berat dari penambangan nikel, yang bersifat asam, dapat mencemari ekosistem pesisir Raja Ampat.

"Logam berat yang mengalir ke sungai atau langsung ke pantai dapat mengancam terumbu karang dan menyebabkan pemutihan terumbu karang. Hal ini disebabkan karena logam berat nikel meningkatkan keasaman air laut," jelas Mahawan.

Oleh karena itu, perusahaan tambang harus memiliki kolam limbah yang memadai untuk mencegah sedimentasi dari kegiatan penambangan. Hal ini penting untuk mencegah pencemaran laut dan pesisir oleh logam berat, terutama di wilayah kepulauan dengan ekosistem yang sangat sensitif. Selain itu, pengolahan limbah harus dilakukan sesuai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) untuk mencegah pencemaran tanah dan air di sekitarnya.

Namun, insiden kebocoran kolam limbah di PT Anugerah Surya Pratama (ASP) menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengelolaan limbah oleh perusahaan. Kebocoran tersebut mengindikasikan bahwa struktur kolam tidak tertutup dengan sempurna, sehingga limbah mengalir ke area yang lebih rendah dan akhirnya mencemari laut.

"Kolam limbah tambang harus dijaga ukuran dan kualitasnya. Ukuran kolam harus cukup besar untuk menampung erosi yang terbawa air hujan, dan kualitasnya harus memadai untuk mencegah sedimentasi logam berat agar tidak mencemari lingkungan," papar Mahawan.

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah melakukan investigasi terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh empat perusahaan nikel di Raja Ampat, yaitu PT Gag Nikel (PT GN) di Pulau Gag, PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP) di Pulau Manuran, PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM) di Pulau Kawei, serta PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele.

Menteri LH, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan bahwa pihaknya telah menyegel perusahaan-perusahaan tambang tersebut. "Kondisi lingkungan di Pulau Manuran akibat penambangan nikel sangat serius, terutama karena dilakukan di pulau kecil dengan kurangnya kehati-hatian," ungkap Hanif.

KLH telah mengambil sampel dari lokasi penambangan dan meminta keterangan ahli mengenai kerugian dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penambangan di Raja Ampat. Hal ini dilakukan untuk menentukan tindakan hukum yang akan diambil, baik berupa penindakan pidana, perdata, maupun sanksi administrasi.

KLH juga memerintahkan Bupati Raja Ampat untuk meninjau kembali persoalan lingkungan PT ASP karena dokumennya masih berada di tangan pemerintah daerah. Izin persetujuan lingkungan PT ASP akan dicabut karena operasionalnya menyebabkan pencemaran akibat jebolnya settling pond dan kegiatan di kawasan suaka alam. Hasil pengawasan juga menemukan adanya kegiatan tambang nikel di luar Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) seluas 5 hektare.

PT GN, yang beroperasi di Pulau Gag yang masuk kawasan hutan lindung dan termasuk kategori pulau kecil, akan ditinjau kembali persetujuan lingkungannya. KLH juga memerintahkan pemulihan atas dampak ekologis kepada perusahaan.

PT KSM, yang beroperasi di Pulau Kawe yang berada di kawasan hutan produksi, ditemukan melakukan kegiatan di luar izin kawasan. Izin lingkungan PT KSM akan ditinjau kembali dan proses hukum akan dilakukan atas pelanggaran kehutanan.

PT MRP, yang melakukan eksplorasi di Pulau Manyaifun dan Batang Pele tanpa dokumen lingkungan dan tanpa PPKH, melakukan kegiatan eksplorasi di 10 titik dalam kawasan hutan tanpa PPKH. Akibat pelanggaran tersebut, perusahaan berpotensi dikenakan penegakan hukum pidana lingkungan hidup.

Kegiatan penambangan nikel di Raja Ampat menjadi sorotan utama karena berpotensi mengancam kelestarian lingkungan yang unik dan rentan di kepulauan tersebut. Tindakan tegas dari pemerintah dan kesadaran perusahaan akan pentingnya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan sangat diperlukan untuk melindungi keindahan alam Raja Ampat bagi generasi mendatang.