Jejak Eduard Douwes Dekker di Bogor: Menanti Gubernur Jenderal di Hotel Salak

Bogor, kota hujan yang menyimpan jejak sejarah. Di antara bangunan-bangunan kuno dan jalanan yang ramai, terselip kisah seorang tokoh penting bernama Eduard Douwes Dekker. Sebelum namanya dikenal luas berkat novel fenomenalnya, Max Havelaar, Dekker pernah menghabiskan waktu di Bogor, berupaya menemui Gubernur Jenderal Charles Ferdinan Pahud.

Kedatangan Douwes Dekker ke Bogor pada tahun 1856 bukan tanpa alasan. Ia membawa misi penting, yaitu melaporkan dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Residen Rangkasbitung, Dumaeyer van Twist, dan Demang Karta Nata Nagara. Namun, akses langsung ke Gubernur Jenderal Pahud di Istana Buitenzorg (kini Istana Bogor) bukanlah perkara mudah.

Sebagai alternatif, Dekker memilih untuk menginap di Hotel Binnenhof, yang kini dikenal sebagai Hotel Salak The Heritage. Lokasinya yang strategis, berhadapan langsung dengan Istana Buitenzorg, memberinya harapan untuk bertemu dengan Pahud. Sayangnya, Gubernur Jenderal tersebut, yang tampaknya sudah mengetahui maksud kedatangan Dekker, justru menghindari pertemuan.

Setelah beberapa waktu menginap di Hotel Binnenhof, kondisi keuangan Dekker mulai menipis. Ia kemudian pindah ke Hotel Bellevue, yang kini menjadi Bogor Trade Mall, dengan tarif yang lebih terjangkau. Tak disangka, justru di hotel inilah ia akhirnya berhasil bertemu dengan Pahud. Pertemuan tersebut, menurut Abdullah Abubakar Batarfie dari Komunitas Japas dan Pusat Informasi dan Dok Al Irsyad, berlangsung singkat dan tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Pahud, yang sudah mengetahui agenda Dekker, berusaha mengalihkan pembicaraan ke topik lain.

Kekecewaan atas kegagalan menyampaikan laporan secara utuh mendorong Douwes Dekker untuk menuangkan pengalamannya dan berbagai masalah yang terjadi di Rangkasbitung ke dalam sebuah novel. Lahirlah Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij, sebuah karya yang menggemparkan dunia pada tahun 1860. Novel ini kemudian diterjemahkan oleh HB Jassin pada tahun 1973 dengan judul Max Havelaar.

Sebagai bentuk penghormatan terhadap jejak Douwes Dekker, Hotel Salak menyimpan lukisan dan patungnya. Dahulu, artefak ini sempat dipajang di President Suites, namun kini disimpan di ruang manajemen hotel.

Hotel Salak sendiri merupakan salah satu situs bersejarah yang menjadi bagian dari perayaan ulang tahun Kota Bogor. Bangunan ini memiliki arsitektur khas dengan langit-langit yang relatif rendah, berbeda dengan bangunan-bangunan Belanda di Batavia. Hal ini disesuaikan dengan iklim Bogor yang sejuk, bahkan berkabut hingga pagi hari pada era 1970-an.

Sejarah Hotel Salak mencerminkan perjalanan panjang Kota Bogor. Pada tahun 1856, hotel ini dimiliki oleh keluarga Pahud. Namun, karena masalah keuangan, kepemilikan hotel beralih pada tahun 1913 dan berganti nama menjadi NV American Hotel. Pada tahun 1922, EA Dibbets menjadi pemilik saham mayoritas dan mengubah namanya menjadi Dibbets Hotel. Sepuluh tahun kemudian, namanya kembali berubah menjadi Bellevue Dibbets. Nama Hotel Salak baru disematkan pada tahun 1950, setelah hotel ini resmi menjadi milik pemerintah Indonesia.

Selain Hotel Salak, acara napak tilas juga mengunjungi lokasi-lokasi bersejarah lainnya di Bogor, seperti Lapangan Sempur, Rumah Dinas Walikota Bogor, dan Sinagoge yang kini menjadi Kantor Badan Pertanahan Nasional. Acara ini menarik minat dari berbagai kalangan, termasuk tokoh-tokoh penting dan mahasiswa.

Kehadiran jejak Douwes Dekker di Bogor menjadi pengingat akan sejarah panjang kota ini dan kontribusi pentingnya dalam perkembangan sastra dan pemikiran di Indonesia. Mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti Hotel Salak memberikan wawasan baru dan menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah kelahiran.