Polemik Rumah Subsidi 18 Meter Persegi: Antara Keterjangkauan dan Kelayakan Huni
Polemik Rumah Subsidi 18 Meter Persegi: Antara Keterjangkauan dan Kelayakan Huni
Wacana revisi aturan mengenai luas minimum rumah subsidi yang diusulkan sebesar 18 meter persegi telah memicu perdebatan sengit di kalangan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait. Usulan ini, yang bertujuan untuk meningkatkan keterjangkauan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), justru menuai kritik dan penolakan dari berbagai pihak.
Satuan Tugas (Satgas) Perumahan yang dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap usulan tersebut. Anggota Satgas Perumahan, Bonny Z Minang, mengungkapkan bahwa Satgas tidak pernah diajak berkoordinasi terkait wacana ini. Menurutnya, Satgas justru fokus pada upaya peningkatan likuiditas pembiayaan MBR untuk mengurangi angka backlog perumahan.
Bonny merasa terkejut dengan munculnya usulan rumah subsidi 18 meter persegi, terutama karena Satgas telah ditugaskan untuk merancang hunian rakyat yang sehat dan layak, dengan mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) dan standar internasional. Ia khawatir bahwa ukuran rumah yang terlalu kecil tidak akan memenuhi standar kelayakan huni.
Alasan dan Kritik
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (Ara) menjelaskan bahwa usulan rumah subsidi 18 meter persegi masih berupa draf dan belum menjadi keputusan final. Ia berjanji akan mendiskusikannya lebih lanjut dengan Ketua Satgas Perumahan, Hashim Djojohadikusumo, dan pihak-pihak terkait.
Usulan ini muncul sebagai bagian dari upaya mencapai target ambisius Presiden Prabowo untuk membangun 3 juta rumah bagi MBR melalui program Asta Cita. Pemerintah berpendapat bahwa dengan memperkecil ukuran rumah, harga jual akan lebih terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun, usulan ini juga mendapatkan kritik tajam dari anggota Komisi V DPR RI. Yanuar Arif Wibowo dari Fraksi PKS menilai bahwa janji pembangunan 3 juta rumah hanyalah wacana kosong karena belum ada kejelasan mengenai anggaran dan pelaksanaannya. Haryanto dari Fraksi PDI Perjuangan juga mengkritik kurangnya peta jalan yang solid dan skema pembiayaan yang transparan untuk mendukung target tersebut.
Peran James Riady
Nama James Riady, konglomerat dari Lippo Group, turut disebut dalam polemik ini. Ketua Asosiasi Pengembang dan Pemasar Rumah Nasional (Asprumnas), Muhammad Syawali Pratna, mengungkapkan bahwa James Riady memberikan usulan mengenai luasan minimum rumah dan tanah dalam sebuah rapat yang membahas rumah subsidi.
Usulan luasan rumah 18 meter persegi dengan luas tanah 25 meter persegi disebut-sebut muncul dari paparan James Riady. Namun, Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP, Sri Haryati, membantah bahwa usulan ini hanya berasal dari James Riady. Ia menjelaskan bahwa pemerintah terbuka terhadap masukan dari berbagai pihak, termasuk asosiasi dan perusahaan properti besar.
Standar Kelayakan Huni
Kritik terhadap usulan rumah subsidi 18 meter persegi juga menyoroti aspek kelayakan huni. Muhammad Syawali Pratna dari Asprumnas menilai bahwa ukuran tersebut terlalu sempit dan tidak layak huni karena melanggar aturan mengenai koefisien dasar bangunan (KDB) dan sirkulasi udara.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Ari Tri Priyono, menyarankan agar luasan tanah ditingkatkan menjadi 35 hingga 40 meter persegi untuk rumah 18 meter persegi. Ia mengingatkan bahwa Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia pernah menggugat luas minimum rumah deret dan berhasil dikabulkan.
Sri Haryati dari Kementerian PKP menjelaskan bahwa standar yang dipakai dalam usulan ini adalah kebutuhan volume udara yang dikonversi menjadi meter persegi, yang masih berdasarkan SNI. Menurutnya, luasan 18 meter persegi masih sesuai dengan standar untuk keluarga dua jiwa atau lajang.
Kesimpulan
Polemika mengenai rumah subsidi 18 meter persegi mencerminkan adanya perbedaan pandangan mengenai cara terbaik untuk menyediakan hunian yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang semua aspek, termasuk kelayakan huni, standar kesehatan, dan aspirasi masyarakat, sebelum mengambil keputusan final. Dialog dan koordinasi yang efektif antara semua pemangku kepentingan juga sangat penting untuk mencapai solusi yang optimal.