Pakar Hukum Pidana Tegaskan: Pertemuan Hakim dengan Pihak Perkara dalam Kasus Suap Vonis Bebas Ronald Tannur Merupakan Pelanggaran Etik
Pakar Hukum Pidana Tegaskan: Pertemuan Hakim dengan Pihak Perkara dalam Kasus Suap Vonis Bebas Ronald Tannur Merupakan Pelanggaran Etik
Sidang dugaan suap yang menjerat tiga hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, memasuki babak baru dengan keterangan ahli hukum pidana dan hukum acara pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (11/3/2025), Hibnu memberikan kesaksian krusial terkait pertemuan antara hakim dan pihak berperkara, khususnya dalam konteks kasus vonis bebas Ronald Tannur atas kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti.
Jaksa penuntut umum mengajukan ilustrasi berupa serangkaian upaya dari kuasa hukum terdakwa untuk menjalin komunikasi dengan majelis hakim, baik di dalam maupun di luar lingkungan pengadilan, bahkan sebelum perkara dilimpahkan. Ilustrasi tersebut menggambarkan adanya upaya pengaturan putusan dengan imbalan sejumlah uang sebelum vonis dibacakan. Uang suap yang diberikan tersebut berjumlah Rp 1 miliar dan SGD 308 ribu atau setara Rp 3,6 miliar.
Menanggapi ilustrasi tersebut, Hibnu Nugroho secara tegas menyatakan bahwa pertemuan antara hakim dengan pihak berperkara, termasuk penasihat hukum, merupakan pelanggaran etik yang serius. Beliau menekankan bahwa profesi hakim menuntut integritas dan independensi yang tinggi, sehingga interaksi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perkara yang sedang ditangani harus dihindari untuk mencegah konflik kepentingan dan potensi intervensi.
"Hakim adalah profesi yang kehilangan sisi sosialnya," ujar Hibnu. "Mereka harus sangat berhati-hati dalam berhubungan dengan siapapun, termasuk dalam hal makan dan bertemu orang. Pertemuan dengan pihak berperkara, apalagi dalam konteks upaya mempengaruhi putusan, merupakan tindakan yang sangat tidak patut." Hibnu menambahkan bahwa hakim seharusnya secara tegas menolak segala bentuk pertemuan dengan pihak berperkara agar terhindar dari potensi pelanggaran etik dan hukum.
Lebih lanjut, Hibnu menjelaskan bahwa rangkaian upaya yang diilustrasikan oleh jaksa, yang meliputi komunikasi dengan hakim dan pemberian uang sebelum putusan dibacakan, merupakan indikasi kuat adanya upaya untuk mempengaruhi putusan. Pemberian uang sebelum putusan dibacakan, menurut Hibnu, secara hukum telah memenuhi unsur suap dan memperkuat dugaan upaya manipulasi peradilan.
Kasus ini bermula dari upaya Ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja, untuk membebaskan anaknya dari tuntutan hukum terkait kematian Dini Sera Afrianti. Melalui pengacara Lisa Rahmat, upaya tersebut melibatkan mantan pejabat MA Zarof Ricar untuk menemukan hakim yang bersedia memberikan vonis bebas kepada Ronald Tannur. Setelah rangkaian suap terungkap, Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa dan menjatuhkan vonis 5 tahun penjara kepada Ronald Tannur.
Kesimpulannya, kesaksian ahli Hibnu Nugroho dalam persidangan ini menggarisbawahi pentingnya menjaga independensi dan integritas peradilan. Pertemuan antara hakim dan pihak berperkara, terutama jika terkait dengan upaya mempengaruhi putusan, merupakan pelanggaran etik yang berpotensi pidana dan harus dihindari. Kasus ini menjadi pembelajaran penting dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia.
- Fakta Kasus: Tiga hakim PN Surabaya menerima suap untuk membebaskan Ronald Tannur.
- Peran Ahli: Hibnu Nugroho menekankan pelanggaran etik pertemuan hakim dan pihak berperkara.
- Konsekuensi: MA mengabulkan kasasi, Ronald Tannur divonis 5 tahun penjara.
- Unsur Suap: Pemberian uang sebelum putusan dibacakan.