Eksploitasi Nikel di Raja Ampat: Ancaman Terhadap Surga Bawah Laut Demi Ambisi Energi Hijau
Perayaan Hari Laut Sedunia beberapa waktu lalu menjadi pengingat akan pentingnya lautan bagi kehidupan di Bumi. Indonesia, sebagai negara maritim dengan wilayah laut yang luas dan garis pantai yang panjang, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kelestarian laut demi kepentingan nasional.
Ironisnya, di tengah semangat pelestarian tersebut, Raja Ampat, yang dikenal sebagai "Amazon Laut", justru menghadapi ancaman serius akibat ekspansi tambang nikel dan rencana pembangunan smelter. Ambisi untuk mengembangkan energi hijau melalui pemanfaatan nikel justru berpotensi menghancurkan infrastruktur biru alami yang memberikan berbagai jasa ekosistem penting bagi dunia.
Raja Ampat merupakan wilayah dengan keanekaragaman hayati laut yang luar biasa. Data dari The Nature Conservation menunjukkan bahwa 75% spesies karang dunia atau sekitar 574 spesies dapat ditemukan di Raja Ampat. Selain itu, terdapat lebih dari 1.400 spesies ikan karang, termasuk spesies endemik yang tidak ditemukan di tempat lain.
Kawasan ini juga memiliki ekosistem mangrove dan lamun yang kompleks, menjadikannya mesin biogeokimia laut yang aktif. Raja Ampat berperan penting dalam menyerap emisi karbon, menstabilkan sedimen, mengatur iklim mikro, dan menjadi habitat bagi berbagai flora dan fauna. Fungsi-fungsi ini berdampak besar pada ekologi, ekonomi, dan iklim global. Sistem alami seperti ini semakin bernilai seiring waktu karena kemampuannya menyimpan karbon, meredam perubahan iklim ekstrem, dan menjaga ketahanan pangan melalui perikanan berkelanjutan.
Analisis citra satelit dan data kualitas air menunjukkan peningkatan kekeruhan dan sedimentasi di sekitar pulau-pulau yang menjadi target penambangan, seperti Gag, Kawe, dan Manuran. Perubahan ini menjadi indikasi awal tekanan pada terumbu karang akibat limpasan dari daratan, yang dapat berdampak signifikan pada ekosistem laut.
Kenaikan material tersuspensi sebesar 10% saja dapat menurunkan tingkat rekrutmen karang hingga 40%, yang berdampak jangka panjang pada kelangsungan ekosistem terumbu karang. Deposisi sedimentasi yang diperkaya TEP dapat menyebabkan kematian dini pada karang hingga 33%, dan bahkan lebih dari 80% jika konsentrasinya meningkat tiga kali lipat. Peningkatan kekeruhan dan sedimentasi menghambat rekrutmen awal karang, mengindikasikan risiko gangguan regenerasi ekosistem.
Selain itu, aktivitas penambangan di pulau-pulau kecil berpotensi mencemari sedimen laut dengan logam berat seperti nikel dan kobalt. Konsentrasi nikel sekitar 20 mg/kg dalam sedimen dapat menghambat aktivitas mikroba bentik hingga 60-90%, yang dapat mengganggu fiksasi nitrogen dasar, proses penting dalam pertumbuhan dan ketahanan biota bentik dan karang.
Narasi yang menyatakan bahwa tambang nikel penting untuk mendukung energi hijau seringkali mengabaikan realitas ekologis. Raja Ampat bukanlah sekadar gudang mineral, tetapi juga penyerap karbon dan penstabil iklim alami. Eksploitasi di kawasan ini merupakan contoh nyata dari "green extractivism", yaitu mengorbankan integritas ekologi demi keuntungan jangka pendek dengan dalih keberlanjutan.
Indonesia memiliki cadangan nikel yang melimpah di luar kawasan ekosistem kritis. Penambangan sebaiknya dilakukan di area yang tidak termasuk kawasan ekosistem penting. Perencanaan ruang laut berbasis sains perlu menjadi acuan untuk menetapkan zona larangan tambang berdasarkan nilai ekosistem dan ketahanan habitat.
Keputusan pemerintah untuk menghentikan sementara kegiatan beberapa perusahaan tambang di Raja Ampat merupakan langkah awal yang baik. Namun, tindakan sementara tidak cukup untuk melindungi warisan laut ini secara jangka panjang.
Langkah-langkah yang diperlukan adalah:
- Moratorium permanen terhadap aktivitas tambang dan pembangunan smelter di pulau-pulau kecil dan kawasan geopark UNESCO.
- Penetapan zona infrastruktur biru, di mana fungsi ekosistem laut dilindungi secara hukum sebagai aset publik.
- Penguatan literasi konservasi laut, agar dukungan publik terhadap keanekaragaman hayati berakar pada pemahaman ilmiah, bukan sekadar emosi.
Raja Ampat bukan hanya kebanggaan Indonesia, tetapi juga denyut nadi planet ini. Mari kita memilih pengetahuan daripada eksploitasi, dan masa depan daripada kerusakan. Laut tidak butuh diselamatkan, ia butuh dijaga kelestariannya.