Masa Depan Raja Ampat Terancam: Desakan Penghentian Aktivitas Pertambangan Demi Pariwisata Berkelanjutan
Keindahan Raja Ampat, surga bawah laut yang mendunia, kini terancam oleh aktivitas pertambangan yang meresahkan. Sorotan tajam terhadap isu ini datang dari berbagai pihak, terutama pengamat pariwisata yang lantang menyuarakan pentingnya menjaga kelestarian alam Raja Ampat demi keberlangsungan pariwisata berkelanjutan. Prof. Azril Azhari, seorang pakar kebijakan publik pariwisata, mengemukakan pandangannya mengenai pembangunan Raja Ampat yang seharusnya berfokus pada konsep pariwisata berkelanjutan dan pariwisata pulau-pulau kecil.
Menurut Prof. Azril, pariwisata berkelanjutan haruslah berlandaskan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal (community based tourism) dan menjaga keseimbangan ekosistem (eco-system based tourism). Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa ekosistem terdiri dari tiga komponen utama: lingkungan biotik (flora dan fauna), lingkungan abiotik (atmosfer, lapisan tanah, mineral), serta manusia beserta budayanya. Keseimbangan ketiga aspek ini adalah kunci utama dalam mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan. Pariwisata pulau-pulau kecil, sebagaimana yang dimaksud, adalah pariwisata yang berlangsung di pulau-pulau dengan luas area kurang dari 2.000 kilometer persegi dan harus selaras dengan prinsip Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
Prof. Azril menekankan pentingnya merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperkuat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Putusan MK ini secara tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil dengan luas kurang dari atau sama dengan 2.000 km², serta menegaskan kembali larangan tersebut berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 (Perubahan UU No 27 tahun 2007). Tujuan utama dari larangan ini adalah untuk melindungi kelestarian ekologis dan hak-hak masyarakat pesisir dan pulau kecil.
"UU No.1 Tahun 2014 dan Putusan MK ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk menghentikan pertambangan di seluruh pulau-pulau kecil di Indonesia," tegas Prof. Azril. Beliau juga mendesak pemerintah untuk meninjau ulang model pembangunan di wilayah PWP3K Indonesia, dengan menjadikan regulasi berupa UU dan Putusan MK sebagai landasan yang kuat. Polemik mengenai tambang nikel di Raja Ampat harus segera diakhiri oleh pemerintah, demi menjaga kelestarian alam dan keberlangsungan pariwisata.
Prof. Azril mengingatkan bahwa pembangunan yang hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi jangka pendek tanpa memperhatikan sistem ekologi akan membawa dampak buruk dan kehancuran. Fokus pembangunan seharusnya adalah meningkatkan pendapatan masyarakat lokal (community based tourism), bukan hanya menguntungkan pemilik modal. Pemerintah juga harus mampu menghitung biaya eksternalitas, termasuk nilai jasa ekosistem yang seringkali diabaikan.
Lebih lanjut, Prof. Azril menekankan bahwa ekosistem budaya masyarakat adat lokal adalah aset tak ternilai yang harus dihormati dan dilindungi. Tuntutan moratorium permanen dan pencabutan izin pertambangan adalah langkah bijak untuk kepentingan masyarakat adat lokal, bukan berpihak pada pemilik modal. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya pariwisata dan sumber daya ekonomi akan lebih lestari dengan mengedepankan kearifan lokal.
"Raja Ampat bukan hanya sebuah situs geopark global UNESCO yang ditetapkan pada 2023, tetapi bagaimana kita mampu memperlakukan alam, mulai dari lingkungan abiotik, biotik dan manusia dengan budayanya), yang pada akhirnya, bagaimana kita memahami tempat kita hidup di alam semesta ini," ujarnya. Prof. Azril juga menyinggung tentang pentingnya menjaga kualitas hidup yang seimbang dan mengembangkan pariwisata kesehatan dan kebugaran dengan konsep green healing dan blue healing. Pilihan ada di tangan kita, apakah kita mampu menjaga dan memanfaatkan karunia Tuhan, ataukah kita akan mengabaikannya demi keuntungan materi sesaat, padahal untuk mengembalikan alam seperti semula membutuhkan waktu yang sangat lama.