Pemungutan Suara Ulang: Beban Fiskal dan Ancaman Stabilitas Demokrasi di Indonesia
Pemungutan Suara Ulang: Beban Fiskal dan Ancaman Stabilitas Demokrasi di Indonesia
Pemilihan umum langsung, pilar demokrasi Indonesia, ternyata menyimpan paradoks. Di balik idealisme proses demokrasi tersebut, tersimpan beban finansial yang signifikan, khususnya ketika terjadi Pemungutan Suara Ulang (PSU). PSU tidak hanya menguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang efisiensi dan keberlanjutan sistem pemilu yang selama ini dianggap ideal. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan PSU di 24 daerah dalam Pilkada 2024 menjadi bukti nyata dari beban ini, dengan total biaya yang mencengangkan, hampir mencapai Rp 1 triliun. Rinciannya meliputi dana untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp 486 miliar, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rp 215 miliar, dan pengamanan dari TNI-Polri Rp 250 miliar.
Minimnya kemampuan fiskal daerah untuk menanggung beban tersebut menjadi perhatian utama. Mayoritas daerah hanya mampu menanggung kurang dari 30% biaya PSU, sehingga pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus menutup defisit sekitar Rp 700 miliar. Kondisi ini memaksa daerah mengalihkan anggaran pembangunan sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur untuk membiayai proses politik yang berulang dan mahal. Ironisnya, kekurangan kesiapan finansial daerah dalam menghadapi kontigensi seperti PSU semakin menggarisbawahi persoalan mendasar dalam pengelolaan keuangan daerah.
Faktor Pemicu Pembengkakan Biaya PSU
Beberapa faktor utama berkontribusi terhadap pembengkakan biaya PSU. Pertama, kebutuhan logistik yang sangat besar, termasuk pengadaan ulang surat suara, kotak suara, dan perlengkapan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua, pengamanan ekstra oleh TNI-Polri yang dibutuhkan mengingat potensi memanasnya situasi politik selama PSU. Ketiga, peningkatan dana untuk Bawaslu dalam rangka mengawasi proses PSU agar berjalan sesuai aturan dan bebas dari pelanggaran. Regulasi yang mengatur PSU, khususnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang mensyaratkan pelaksanaan PSU dalam waktu maksimal 10 hari setelah keputusan dikeluarkan, turut meningkatkan tekanan logistik dan biaya operasional.
Ancaman Konflik Sosial
PSU juga berpotensi memicu konflik sosial. Beberapa faktor utama yang memperburuk situasi tersebut adalah:
- Ketegangan Politik dan Polarisasi: Persaingan ketat antar pendukung calon seringkali berujung pada konflik. Contohnya, kerusuhan di Puncak Jaya, Papua pada 2024 yang mengakibatkan pembakaran puluhan rumah dan sejumlah korban luka. Ketidakpuasan atas hasil pemilu sebelumnya dan tuduhan kecurangan menjadi pemicu utama.
- Eksploitasi Isu SARA: Penggunaan isu SARA untuk kepentingan politik juga kerap memicu konflik horizontal, seperti yang terjadi di Kabupaten Serang pada Pilkada 2024.
- Kecurangan dan Manipulasi: Praktik politik uang dan manipulasi hasil suara merusak kepercayaan publik dan dapat memicu aksi protes, seperti pembakaran kotak suara yang terjadi di Kabupaten Bima.
Mitigasi Konflik dan Reformasi Sistem
Upaya mitigasi konflik sosial membutuhkan pendekatan yang komprehensif, termasuk:
- Pemetaan potensi konflik: Identifikasi wilayah rawan konflik melalui Indeks Potensi Kerawanan Pemilu (IPKP).
- Pengelolaan media sosial: Pengawasan terhadap hoaks dan ujaran kebencian.
- Peningkatan kapasitas aparat keamanan: Pelatihan dan peningkatan profesionalisme aparat keamanan.
- Edukasi politik masyarakat: Pendidikan politik dan program konsolidasi pasca-pemilu untuk meredakan polarisasi.
Reformasi Regulasi dan Penguatan Kelembagaan
Ketergantungan daerah pada APBN untuk menutupi kekurangan biaya PSU menunjukkan lemahnya kemandirian fiskal daerah. Proses birokrasi yang panjang dan koordinasi yang rumit juga berisiko menghambat pelaksanaan PSU tepat waktu. Reformasi regulasi pemilu sangat penting untuk mengatasi masalah ini, termasuk menutup celah hukum yang menyebabkan sengketa dan mengadopsi teknologi e-voting untuk meningkatkan efisiensi. Peningkatan transparansi dalam penyelesaian sengketa, penguatan kapasitas Bawaslu, serta pendidikan politik yang masif juga menjadi kunci untuk mewujudkan pemilu yang lebih adil, efisien, dan berintegritas.
Kesimpulannya, PSU merupakan beban fiskal dan ancaman bagi stabilitas demokrasi di Indonesia. Reformasi kebijakan publik yang komprehensif, meliputi revisi regulasi, peningkatan transparansi, penguatan kelembagaan, dan pendidikan politik yang efektif, sangat diperlukan agar demokrasi Indonesia tidak hanya menjadi ritual mahal, tetapi juga proses yang berintegritas dan berkelanjutan.