Uskup Timika Kecam Eksploitasi Nikel di Pulau Gag: Merusak Alam dan Mengancam Masyarakat Adat

Keprihatinan mendalam atas aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, terus bergulir. Kali ini, suara lantang datang dari Uskup Keuskupan Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru OSA. Beliau mengecam keras praktik pertambangan yang dinilai akan membawa dampak buruk bagi lingkungan serta mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat setempat.

Uskup Bernard, yang dikenal dekat dengan sapaan Uskup Benard, dengan tegas menyatakan bahwa eksploitasi nikel di Pulau Gag merupakan bentuk perampasan sumber daya alam dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat yang mendiami pulau tersebut. Beliau menyoroti kontradiksi yang terjadi, di mana Raja Ampat selama ini dipuja karena keindahan alamnya, namun justru dirusak oleh kehadiran perusahaan pertambangan.

"Selama ini Raja Ampat dipuji-puji, namun perusahaan datang merusaknya," tegasnya, menyuarakan kekecewaan atas kerusakan yang ditimbulkan.

Uskup Benard, yang merupakan alumni Universitas Kepausan Urbaniana, Roma, menekankan bahwa penambangan nikel di Pulau Gag memiliki konsekuensi serius terhadap lingkungan, perubahan iklim, dan kehidupan alam secara keseluruhan. Beliau khawatir aktivitas ini akan merusak ekosistem yang rapuh dan mengancam mata pencaharian masyarakat Papua yang bergantung pada alam.

"Tambang nikel di Pulau Gag ini merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat Papua yang ada di Raja Ampat," ujarnya dengan nada prihatin.

Dalam homili yang disampaikan pada Hari Pentakosta di Gereja Katedral Kristus Raja, Uskup Benard menyoroti bagaimana para penguasa dan oligarki secara membabi buta merusak alam dan membunuh manusia yang telah hidup di sana selama ribuan tahun.

"Dua ribu hektar tanah adat orang Marind (Merauke) dan keindahan laut Raja Ampat dihancurkan, diluluhlantakan hanya demi roh kerakusan dan ketamakan, yang menggunakan slogan demi proyek strategis nasional," ungkapnya dengan nada geram.

Uskup dari Ordo Santo Agustinus (OSA) ini juga mengungkapkan bahwa tindakan tersebut didasari oleh roh kejahatan yang telah menguasai manusia dengan kepentingan kapitalisme semata. Beliau mengkritik kesewenang-wenangan pemerintah dan pengusaha yang dinilai telah merampas kehidupan masyarakat asli Papua.

Sementara itu, pandangan berbeda datang dari Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan BRIN, Andes Hamuraby Rozak, yang menyatakan bahwa dampak pertambangan tidak dapat diukur dalam jangka pendek. Ia memperkirakan bahwa dampak signifikan baru akan terasa dalam 10 tahun mendatang. Andes juga menyoroti potensi perubahan kualitas air tanah akibat kerusakan vegetasi di permukaan tanah.

"Rusaknya tutupan lahan akan mempengaruhi kualitas air tanah," jelasnya.

Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofi menyatakan bahwa pihaknya akan mengambil langkah hukum setelah melakukan penelitian dan kajian mendalam terhadap aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat.

"Kami akan segera ambil langkah-langkah hukum, terkait dengan kegiatan di Raja Ampat setelah melalui kajian-kajian ada di kami," ujarnya di sela-sela peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 di Bali.

Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Winarno, menilai bahwa kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT GAG Nikel di Pulau Gag tidak menimbulkan masalah. Penilaian ini didasarkan pada hasil peninjauan yang dilakukan langsung di lapangan.

"Kita lihat juga dari atas tadi bahwa sedimentasi di area pesisir juga tidak ada. Jadi secara keseluruhan, sebetulnya tambang ini tidak ada masalah," ujarnya setelah mendampingi Menteri ESDM meninjau Pulau Gag.

Polemik pertambangan nikel di Pulau Gag terus menjadi sorotan, dengan berbagai pihak menyampaikan pandangan yang berbeda. Perdebatan mengenai manfaat ekonomi versus kerusakan lingkungan dan dampak sosial masih terus berlanjut, menuntut solusi yang bijaksana dan berkelanjutan.