Ribuan Hewan Kurban di Yogyakarta Terinfeksi Fasciolosis Saat Idul Adha

Perayaan Idul Adha di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diwarnai temuan infeksi cacing hati (Fasciolosis) pada lebih dari seribu hewan kurban. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY mencatat, infeksi ini terdeteksi melalui pemeriksaan post-mortem di berbagai lokasi penyembelihan hewan kurban di seluruh wilayah DIY.

Kepala DPKP DIY, Syam Arjayanti, mengungkapkan bahwa dari total 84.137 hewan kurban yang dipotong, yang terdiri dari 23.715 sapi, 26.197 kambing, dan 34.225 domba, sebanyak 1.649 ekor didiagnosis positif Fasciolosis atau terinfeksi cacing hati. Jumlah ini mewakili sekitar 2% dari total hewan kurban yang diperiksa. Lebih lanjut disampaikan bahwa temuan ini didapatkan dari 7.530 titik penyembelihan hewan kurban yang tersebar di seluruh DIY.

DPKP DIY telah mengintensifkan edukasi kepada masyarakat terkait penanganan hati yang terinfeksi. Masyarakat diimbau untuk memusnahkan hati yang menunjukkan infeksi parah dan menyeluruh. Sementara itu, bagian hati yang masih layak konsumsi dapat dibagikan kepada masyarakat setelah bagian yang terinfeksi dipisahkan dan dibuang. Selain itu, masyarakat juga diimbau untuk memasak daging hingga matang sempurna guna memastikan bahwa larva cacing hati mati.

Temuan kasus Fasciolosis pada sapi kurban terpusat di Kabupaten Sleman dan Bantul. DPKP DIY memfokuskan upaya pada pendeteksian kasus, namun tidak melakukan pencatatan detail mengenai jumlah hati yang dimusnahkan atau dibagikan.

Selain sapi, beberapa domba juga terdeteksi terinfeksi cacing hati, meskipun jumlahnya relatif kecil. Syam Arjayanti menekankan pentingnya Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) sebagai syarat pemotongan hewan kurban. Hewan kurban yang tidak dilengkapi SKKH ditolak untuk menghindari penyebaran penyakit.

Menanggapi isu penyakit antraks, Syam Arjayanti menegaskan bahwa hewan kurban dari daerah yang terjangkit antraks dilarang keluar dari wilayah tersebut. Pemotongan hewan kurban hanya diperbolehkan di dalam wilayah terinfeksi untuk mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut. Prosedur ketat diterapkan, termasuk pengawasan oleh dokter hewan yang bertugas di lokasi dan penggunaan alat pelindung diri yang memadai untuk mencegah penyebaran spora antraks.