Mungkinkah Kecerdasan Buatan Ungkap Kebohongan Lewat Analisis Suara dan Ekspresi?

Potensi AI dalam Mendeteksi Kebohongan: Studi Ungkap Kemampuan Analisis Suara dan Ekspresi

Kecerdasan buatan (AI) terus menunjukkan kemampuannya dalam berbagai bidang, bahkan merambah potensi untuk mendeteksi kebohongan. Sebuah studi terbaru menyoroti bagaimana AI dapat menganalisis berbagai indikator, mulai dari pola bicara hingga ekspresi wajah, untuk mengungkap potensi ketidakjujuran seseorang.

Salah satu aspek kunci yang dieksplorasi adalah analisis pola bicara. AI dilatih untuk mengenali isyarat verbal halus yang seringkali terlewatkan oleh manusia. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang berbohong cenderung menunjukkan pola bicara tertentu, seperti:

  • Lebih sering berhenti sejenak.
  • Menggunakan lebih sedikit detail.
  • Memberikan penjelasan yang berlebihan.

Sistem AI yang dilatih dengan dataset besar mampu mengidentifikasi pola-pola ini dengan tingkat akurasi yang tinggi. Algoritma Natural Language Processing (NLP) berperan penting dalam memecah pola bicara dan menemukan inkonsistensi yang mungkin mengindikasikan kebohongan. Model canggih bahkan mampu mendeteksi perubahan mikro dalam nada suara, keraguan, dan struktur kalimat.

Selain analisis suara, AI juga memanfaatkan pengenalan wajah dan ekspresi mikro. Ekspresi mikro adalah gerakan wajah singkat dan tidak disengaja yang dapat mengungkapkan emosi tersembunyi. AI dapat menganalisis isyarat wajah dalam hitungan milidetik, mengidentifikasi tanda-tanda stres, ketakutan, atau ketidaknyamanan yang mungkin terkait dengan kebohongan. Alat seperti FaceReader dan DeepFace telah digunakan untuk menganalisis emosi dalam berbagai konteks, termasuk keamanan, wawancara kerja, dan bahkan interogasi kriminal.

AI juga mampu memantau biometrik perilaku dan isyarat fisik lainnya. Perubahan gerakan mata, postur tubuh, dan detak jantung dapat memberikan petunjuk tentang potensi kebohongan. Model pembelajaran mesin melacak berbagai reaksi fisik yang seringkali terlalu halus untuk dideteksi oleh manusia.

Penelitian lain bahkan menunjukkan potensi AI dalam mendeteksi kebohongan melalui teks tertulis. Sebuah algoritma yang diuji pada basis data narasi benar dan salah mencapai tingkat akurasi 80% dalam mendeteksi kebohongan. Studi ini dipublikasikan di Scientific Reports.

Giuseppe Sartori, profesor neuropsikologi forensik di University of Padua, menyoroti bahwa kemampuan manusia dalam mendeteksi kebenaran seringkali hanya memiliki akurasi sekitar 50%. Teknik seperti poligraf juga seringkali gagal, sehingga banyak lembaga tidak merekomendasikannya untuk digunakan di bidang hukum.

Model AI telah diterapkan di sektor-sektor tertentu, seperti mengidentifikasi ulasan palsu secara daring. Tim peneliti melatih model bahasa FLAN-T5 dengan basis data narasi benar dan salah yang disusun dengan meminta ratusan peserta untuk menjawab pertanyaan tentang pendapat pribadi, ingatan autobiografi, dan niat masa depan dengan jujur dan tidak jujur. Hasilnya menunjukkan akurasi rata-rata 80% dalam mendeteksi kebohongan, dengan kinerja yang lebih baik dalam mengungkap pendapat palsu.

Namun, para penulis penelitian mengakui bahwa keandalan algoritma tersebut masih terbatas karena hanya diuji dalam pengaturan laboratorium dengan teks yang dibuat-buat. Sartori menyatakan bahwa masih diperlukan penelitian lebih lanjut dan peningkatan jumlah data yang digunakan sebelum AI dapat digunakan secara praktis di bidang hukum.